REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Beberapa orang anggota Polri, Jumat (5/10) malam, berupaya menjemput paksa penyidik KPK bernama Novel. Upaya penjemputan paksa itu pun berdasarkan surat penangkapan resmi yang dibuat oleh Polri. Namun, surat itu dinilai cacat hukum.
Menurut Wakil Ketua KPK Bambang Widjodjanto, ada beberapa kejanggalan dalam surat penangkapan itu. Surat penangkapan itu tidak mendapatkan izin dari pengadilan dan tidak bernomor.
"Surat itu tak ada izin pengadilan. Juga tidak bernomor, Nomornya belum ditulis," ujar Bambang dalam keterangan persnya di kantor KPK, Sabtu (6/10) dini hari.
Kompol Novel merupakan anggota Polri yang memilih bertahan sebagai penyidik KPK. Meskipun, Polri tak lagi memperpanjang masa kedinasannya di KPK. Novel dituduh Polri telah melakukan penganiyaan saat bertugas di Polda Bengkulu pada tahun 2004, tidak benar.
"Novel yang dituduh melakukan penganiyaan sesungguhnya tidak pernah ada di tempat kejadian," kata Bambang.
Menurutnya, berdasarkan keterangan yang ia terima dari Novel, pada waktu tahun 2004, Novel menjabat sebagai Kasat Serse di Polda Bengkulu.
Pada waktu itu, ada anggotanya yang melakukan pelanggaran hukum hingga menyebabkan tewasnya seseorang. Novel selaku pimpinan, mendapat teguran keras. "Tapi ingat, bukan Novel pelakunya," kata Bambang.