REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Simon tumbuh pada masa kekhawatiran terjadinya perang nuklir. Saat itu, Rusia masih menjadi negara adidaya.
Negara yang sebenarnya berjarak cukup jauh dari Rusia khawatir terkena dampak dari perang tersebut. Ini mengingat, Inggris adalah sekutu utama Amerika Serikat yang merupakan musuh Rusia.
Di London, Simon menjadi saksi aksi demonstrasi menentang senjata nuklir. Ia selalu bertanya, apa mungkin Rusia menjatuhkan bom atom di London. Itu membuatnya, sering merasa akan mati sehingga dalam banyak hal, ia lebih memikirkan ketakutan tersebut.
Sepanjang masa kanak-kanak, ia melihat lingkungannya tidak menyadari sesuatu hal yang penting. Ia mulai berpikir untuk berbuat sesuatu.
Ia putus sekolah pada usia 16 tahun. Baginya, hal urgen saat itu adalah mencari kebenaran. Itu dilakukannya dengan melakukan penelitian berbagai budaya dan agama berbeda.
Ia lantas memutuskan tidak lagi sekolah, ia merantau ke AS untuk belajar tentang Agama. Menurutnya, setiap individu tidak akan mengetahui apa yang terjadi ketika bangun dari tidur.
Itulah yang membuatnya khawatir. "Saya pikir, banyak ketidakadilan di dunia. Tentu saja, itu berpengaruh terhadap peradaban," kata dia seperti dinukil onislam.net.