Selasa 09 Oct 2012 19:16 WIB

Akil Minta Kejagung Ajukan PK Kasus Pemilik Pabrik Narkotika

Hakim Konstitusi M Akil Mochtar
Hakim Konstitusi M Akil Mochtar

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA --Kejaksaan Agung diminta mengajukan peninjauan kembali (PK) atas putusanMahkamah Agung yang membatalkan hukuman mati pemilik pabrik narkotika.

Hakim Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar, mengatakan Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung bisa mengambil tindakan dari aspek perilaku hakim atas putusan itu. Akan tetapi dari sisi putusan hakimnya tidak bisa dianulir  kecuali putusan tersebut di PK lagi.

"Karena itu negara dalam hal ini jaksa agung, harus mengajukan PK , biar bisa dibatalkan PK-nya," kata Akil yang juga juru bicara Mahkamah Konstitusi ini, Selasa ( 9/10).

Akil menjelaskan,  walaupun jaksa tidak berhak mengajukan PK tapi ada putusan Mahkamah Agung  yang pernah mengabulkan permohonan PK Jaksa dalam perkara dengan terdakwa, Mochtar Pakpahan, seorang aktivis buruh pada masa itu.

"Kejaksaan bisa PK berdasarkan yurisprudensi Mochtar Pakpahan," kata Akil. Menurut Akil, Jaksa Agung harus turun tangan karena putusan hakim sangat aneh dan mencederai rasa keadilan masyarakat.

Karena pemilik pabrik narkoba hanya dihukum 15 tahun penjara sementara banyak pelaku narkoba yang hanya rakyat kecil dan cuma membawa ganja seberat 5 gram dihukum mencapai 5-6 tahun.

Selain itu, kata Akil, putusan Majelis Hakim PK yang diketuai M Imron Anwari tidak berdasarkan novum atau bukti baru. Melainkan hanya berdasarkan pendapat hakim agung yang menilai bahwa hukuman mati inskonstitusonal karena melanggar HAM.

MK telah berkali-kali melakukan uji materil hukuman mati dan hasilnya hukuman mati itu konstitusional. "Kalau itu merupakan pertimbangan hakim PK, sebenarnya putusan itu salah. Kenapa ? karena PK itu harus ada bukti baru. Sementara itu pendapat hakim  bukan bukti baru," terang Akil.

sumber : antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement