Kamis 11 Oct 2012 20:32 WIB

Hiperinflasi Iran Picu Spekulasi Revolusi (3-habis)

Protes di Teheran terkait melambungnya harga-harga di Iran akibat hiperinflasi
Foto: Green Iranian/Flickr
Protes di Teheran terkait melambungnya harga-harga di Iran akibat hiperinflasi

REPUBLIKA.CO.ID, Tidak ada kejelasan di titik ini, apakah Iran memiliki opsi lain untuk menghindari keruntuhan ekonomi selain mengikuti tuntutan Barat atas program fasilitas nuklirnya yang kontroversial. Seberapa lama Iran akan bertahan?

Bartosz Pawlowski dari BNP Paribas menyatakan laporan yang masuk menunjukkan pelonjakan luar biasa terhadap harga-harga. Namun situasi itu sejauh ini masih bisa dihadapi Iran. "Jadi ke depan, kita mungkin masih bakal mendapat beberapa kabar bermasalah dari sana," ujarnya.

Ia juga menyodorkan pengingat tajam sekaligus memilukan saat harga kebutuhan pokok bergejolak di Timur Tengah. "Anda tahu, harga pangan yang melambung tinggi adalah salah satu alasan peristiwa bernama 'Arab Spring' terjadi," ujarnya.

Kemudian pakar ekonomi lain, Dennis Gartman, menyatakan keruntuhan total mata uang sudah sewajarnya diikuti kebangkitan rakyat, seperti halnya keruntuhan ekonomi di negara manapun. Paling minim memicu kekacauan. "Saya harap ada perubahan rezim," ujarnya.

Namun, guru besar Universitas Michigan dan pakar Timur Tengah, Juan Cole tak sependapat dengan spekulasi revolusi jilid dua di Republik Islam Iran. Dalam postingan di blognya ia menulis jarang sekali sanksi-sanksi Barat--yang notabene sudah diberlakukan ke Iran sejak 1980--mengarah pada perubahan rezim.

Alih-alih, hiperinflasi hanya sekadar jatuh di pundak rakyat Iran. Tak lebih. "Tidak berarti akan mengubah rezim yang berkuasa," tulis Cole.

Sanksi parah, masih menurut Cole, hampir tidak pernah berhasil mengubah rezim atau bahkan hanya sekadar mengganti haluan politik rezim. Irak misal, sanksi parah pada 1990 sebenarnya telah menghancurkan masyarakat kelas menengah dan juga budaya sipil serta tatanan politik. Situasi itu justru membuat warga Irak kian menyanjung Partai Baath penyokong Sadam Hussein yang otoriter, dibanding sebelumnya.

Keruntuhan riyal mungin pertanda bahwa rakyat Iran begitu menderita dan amunisi warga kelas menengah akan tersapu habis. Itu berarti pula mereka tak memiliki uang lagi untuk menjamin hidupnya.

Tapi, tulis Cole, ketika kini mereka menyalahkan Ahmadinejad, mereka pun tahu, ada Amerika Serikat, Uni Eropa dan Israel di balik penderitaan rakyat yang kian mendalam. Bisa jadi mereka lebih membenci ketiga pihak tersebut.

Mungkin ada peluang hari-hari rezim bisa dihitung jari. Tapi ketidakpastian bisa sangat keras kepala.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement