REPUBLIKA.CO.ID, Apabila jenis barang yang sama tidak ada di pasar, ulama fikih sepakat menyatakan bahwa ganti rugi yang harus dibayarkan adalah senilai dengan barang yang digasab ketika gasab itu dilakukan.
Ada tiga keadaan yang membuat al-gasib harus membayar ganti rugi dengan nilai barang.
a) Apabila barang yang digasab itu tidak ada jenisnya di pasar atau sekalipun ada jenisnya tetapi ada perbedaan dari segi kualitas dan kuantitasnya, seperti hewan dan rumah.
b). Apabila jenis barang itu bercampur, misalnya beras bercampur jagung.
c). Apabila barang yang digasab itu ada jenisnya di pasar, tetapi ketika terjadinya proses ganti rugi barang tersebut tidak ada di pasar.
Disamping itu, ulama berbeda pendapat tentang penetapan waktu pembayaran ganti rugi dan nilai barang yang dijadikan patokan untuk ganti rugi tersebut. Ulama Mazhab Hanafi dan Mazhab Maliki mengatakan bahwa penentuan nilai ganti rugi itu diukur dengan nilai ketika terjadinya gasab.
Ulama Mazhab Syafi'i mengatakan bahwa ganti rugi itu ditentukan dengan harga yang paling tinggi sejak terjadinya gasab sampai waktu proses ganti rugi.
Menurut ulama Mazhab Hanbali, apabila barang yang digasab itu ada jenisnya di pasar, tetapi ketika terjadinya ganti rugi barang itu tidak dijumpai, maka patokan harga ganti rugi adalah harga pada hari terputusnya jenis barang itu di pasar.
Ulama berbeda pendapat tentang apakah benda yang telah dibayar ganti ruginya itu menjadi milik orang yang menggasabnya. Ulama Mazhab Hanafi mengatakan bahwa benda itu menjadi milik orang yang menggasabnya sejak gasab dilakukannya sampai ganti rugi dibayarnya.