REPUBLIKA.CO.ID, Selanjutnya, Islam telah melarang bagi seorang istri yang berpuasa sunnah tanpa seizin suaminya, karena baginya lebih diutamakan untuk memelihara haknya daripada mendapat pahala puasa.
Nabi SAW bersabda, "Dilarang bagi si istri (puasa sunah) sedangkan suaminya ada, kecuali dengan izinnya." (HR. Muttafaq Alaih).
Disamping dipeliharanya hak kaum laki-laki (suami) dalam Islam, tidak lupa hak wanita (istri) juga harus dipelihara dalam segala hal. Nabi SAW menyatakan kepada laki-laki (suami) yang terus-menerus puasa dan bangun malam.
Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya bagi jasadmu ada hak dan bagi keluargamu (istrimu) ada hak."
Abu Hamid Al-Ghazali, ahli fikih dan tasawuf dalam kitab “Ihya'” mengenai adab berhubungan suami istri, berkata, "Disunahkan memulainya dengan membaca Bismillahirrahmaanirrahiim dan berdoa, sebagaimana Nabi SAW bersabda, ‘Ya Allah, jauhkanlah aku dan setan dan jauhkanlah setan dari apa yang Engkau berikan kepadaku'."
Rasulullah SAW melanjutkan sabdanya, "Jika mendapat anak, maka tidak akan diganggu oleh setan."
Al-Ghazali berkata, "Dalam suasana ini (akan berhubungan suami istri) hendaknya didahului dengan kata-kata manis, bermesra-mesraan dan sebagainya. Dan menutup diri mereka dengan selimut, jangan telanjang menyerupai binatang. Sang suami harus memelihara suasana dan menyesuaikan diri, sehingga kedua pasangan sama-sama dapat menikmati dan merasa puas."
Berkata Al-Imam Abu Abdullah Ibnul Qayyim dalam kitabnya, “Zadul Ma'ad Fi Hadi Khairul Ibad”, mengenai sunah Nabi SAW dan keterangannya dalam cara berhubungan suami istri. “Tujuan utama dari jimak (berhubungan suami istri) itu ialah:
1. Dipeliharanya nasab (keturunan), sehingga mencapai jumlah yang ditetapkan menurut takdir Allah.
2. Mengeluarkan air yang dapat mengganggu kesehatan badan jika ditahan terus.
3. Mencapai maksud dan merasakan kenikmatan, sebagaimana kelak di surga.
Ditambah lagi mengenai manfaatnya, yaitu menundukkan pandangan, menahan nafsu, menguatkan jiwa dan agar tidak berbuat serong bagi kedua pasangan.