REPUBLIKA.CO.ID, Akan tetapi, ulama Mazhab Hanafi berpendapat lain. Menurut mereka, ilat petunjuk Rasulullah SAW ini dapat ditangkap, yaitu bersihnya bejana tersebut.
Untuk membersihkan bejana dari najis (dalam hal ini jilatan anjing) tidak perlu tujuh kali.
Apabila najis tersebut bisa dibersihkan dengan air dan sabun sebanyak tiga kali saja, maka tidak perlu sampai tujuh kali. Menurut mereka, hadis tersebut ma’qul ma'na (logis, rasional).
Disamping itu, hadis yang diterima Abu Hurairah dari Rasulullah SAW ini bersifat ahad (hadis ahad), hanya Abu Hurairah yang meriwayatkannya dari Rasulullah SAW.
Sesuai dengan prinsip mereka, suatu hadis yang bisa dijadikan hujah antara lain apabila hadis tersebut tidak menyangkut kebutuhan orang banyak dan perawi hadis tidak beramal dengan menyalahi kandungan hadis tersebut.
Ulama Mazhab Hanafi melihat bahwa kandungan hadis tersebut menyangkut kebutuhan orang banyak, karena bejana yang dimiliki siapa pun dapat dijilat anjing. Lalu mereka mempertanyakan, mengapa hadis sepenting ini hanya diriwayatkan oleh satu orang sahabat.
Di samping itu, Abu Hurairah sebagai penerima hadis secara langsung dari Rasulullah SAW tidak beramal sesuai dengan hadis yang diriwayatkannya itu, karena ketika bejananya dijilat anjing ia hanya mencucinya sebanyak tiga kali. Dengan demikian, hadis tersebut tidak dapat mereka terima.
Menurut mereka, kalaupun hadis itu sahih, kandungan hadis tersebut logis dan rasional. Di sisi lain, dalam hadis lain Rasulullah SAW menyatakan bejana yang dijilat anjing dicuci tiga kali, lima kali atau tujuh kali.
Oleh sebab itu. tidak ada kepastian jumlah pencucian tersebut. Karenanya setiap mujtahid bisa memilih angka yang sesuai dengan kenyataan yang ada.
Dari contoh di atas terlihat bagaimana para mujtahid berupaya memahami teks hadis dari berbagai sisi, baik dari sisi status hadis maupun dari segi kandungannya. Dalam fikih muqaran, kaidah-kaidah usul fikih setiap mazhab diterapkan dengan jelas.
Disamping itu, logika berpikir masing-masing juga dijelaskan dalam berhujah dengan hadis tersebut. Akan tetapi, dalam contoh di atas tidak terdapat upaya untuk mentarjih (menguatkan) salah satu pendapat, karena persoalan tersebut adalah persoalan praktis yang setiap mujtahid bebas untuk melakukannya.