REPUBLIKA.CO.ID, LIMA ---- Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Hillary Rodham Clinton mengatakan bertanggung jawab atas peristiwa penyerangan Kedutaan Besar AS di Benghazi, Libya. Dia menerima kesalahan tersebut untuk melindungi pemerintah.
"Saya bertanggung jawab atas enam puluh ribu (staf kedutaan) di 275 Perwakilan Departemen Luar Negeri AS (Kedutaan) di seluruh dunia," kata Clinton, saat berada di Lima, Peru, seperti dilansir kantor berita Reuters, Selasa (16/10).
Ia juga menegaskan, Presiden Barack Obama dan Wakil Presiden Joe Biden tidak dapat disalahkan terkait kebijakan keamanan dalam korps diplomat AS, yang berada di seluruh dunia.
Pernyataan Clinton ini merupakan jawaban atas kritikan Partai Republik. Selama ini kandidat presiden dari partai oposisi, Mitt Romney dan wakilnya Paul Ryan, menjadikan peristiwa 11 September di Benghazi, untuk menghakimi kebijakan luar negeri Obama.
Romney, dalam setiap kampanye politiknya menggunakan istilah kebijakan luar negeri Obama mengalami kegagalan, dan membahayakan AS. Dia mencontohkan serangan yang menewaskan Duta Besar AS di Libya Chriostopher Steven, beserta tiga staf diplomat lainnya.
Namun bila diserang balik Romney tidak pernah memberikan solusi yang konkret terkait peristiwa tersebut.Terakhir, dalam debat cawapres antara Ryan dan Biden akhir pekan lalu oposisi kembali menyerang incumbent.
Ryan menuduh Obama melakukan penolakan untuk mengirimkan personel keamanan tambahan ke Libya. Clinton mempertanyakan maksud kritikan yang dilayangkan Partai Republik kepada presiden.
Istri mantan Presiden AS Bill Clinton ini sebelumnya tidak pernah terlibat secara langsung dalam perang kata-kata antara dua kandidat presiden AS.
Bahkan dalam suatu pernyataan dia mengatakan, tidak berniat mengikuti langkah suaminya untuk bergabung dengan salah satu tim kampanye pemenangan kandidat presiden. Dia juga menyatakan ingin berhenti berpolitik, dan berusaha tetap optimistis kepada kedua calon yang nantinya menguasai Gedung Putih.
Tetapi, menurut dia menyalahkan kebijakan luar negeri serta keamanan diplomatik AS kepada Obama, adalah tidak mendasar dan tentunya salah alamat. Apalagi, dia menambahkan kalau memanfaatkan peristiwa tersebut sebagai senjata berpolitik.