REPUBLIKA.CO.ID, Tidak jarang suatu peristiwa dipandang tidak layak untuk dijadikan pegangan karena dinilai tidak sahih dan tidak autentik.
Ini dapat dilihat antara lain pada peristiwa yang mendahului perkawinan Nabi SAW dengan Zainab binti Jahsy.
Disebutkan bahwa sebelum Nabi SAW menikah dengan Zainab. Nabi SAW telah memendam cinta kepadanya. Namun perasaan itu tidak diungkapkannya, karena Zainab masih terikat perkawinan dengan Zaid bin Harisah.
Cinta itu makin berkembang ketika Nabi SAW tanpa sengaja melihat Zainab dalam pakaian tipis saat ia berkunjung ke rumah Zaid.
Kisah seperti ini dipandang oleh segenap penulis fikih sirah sebagai kisah palsu yang tidak memiliki sanad (silsilah periwayat yang jelas).
Muhammad Al-Ghazali (ulama Mesir kontemporer penulis fikih sirah) membantah dengan tegas kisah-kisah palsu yang sengaja dimasukkan oleh nonmuslim dalam peristiwa perkawinan Nabi SAW dengan Zainab. Ia mengatakan upaya memasukkan kisah seperti itu dalam peristiwa perkawinan itu sebagai usaha memutarbalikkan kebenaran dengan kebatilan.
Disamping menerima metode ilmu hadis, para penulis fikih sirah juga memakai metode sejarah dalam memahami dan menginterpretasi suatu peristiwa. Hal demikian dilakukan karena berbagai peristiwa yang dialami Nabi SAW tidak terlepas dari proses sebab akibat yang satu sama lain mempunyai kaitan erat.
Ini dapat dilihat pada peristiwa Perang Uhud (3 H), yang terkait erat dengan peristiwa Perang Badar (2 H) sebelumnya. Terjadinya Perang Uhud tidak terlepas dari adanya dendam mendalam yang dirasakan para pemuka suku Quraisy ketika mereka kalah dari pasukan muslim di Lembah Badar. Keterkaitan dua peristiwa tersebut disepakati oleh para penulis fikih sirah sesuai dengan konteks kejadian yang dikemukakan dalam sejarah.