REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rancangan Undang-Undang tentang Pangan akhirnya disahkan oleh DPR menjadi Undang-Undang Pangan dalam Rapat Paripurna yang berlangsung di Ruang Rapat Paripurna Nusantara II, Komplek Parlemen Senayan, Kamis (18/10).
Dalam rapat yang dipimpin oleh Wakil Ketua DPR, Pramono Anung, sebanyak 283 dari 560 wakil rakyat yang hadir menyetujui RUU Pangan untuk diundangkan menjadi UU Pangan. Salah satu substansi krusial dari UU Pangan adalah kewajiban pemerintah membentuk lembaga pemerintah yang khusus menangani bidang pangan.
Ketentuan ini tercatat dalam Bab XVI Ketentuan Peralihan Pasal 149 yang berisi, "Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, lembaga Pemerintah yang menangani bidang pangan yang sudah ada pada saat berlakunya Undang-Undang ini tetap menjalankan tugasnya sampai dengan terbentuknya lembaga Pemerintah yang menangani bidang pangan berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini."
Ketua Panitia Kerja RUU Pangan, Herman Khaeron, mengatakan DPR mendorong agar lembaga tersebut nantinya berbentuk kementerian. Walaupun pada dasarnya lembaga ini nantinya juga dapat berbentuk lembaga pemerintah nonkementerian. "Ini tergantung kepada Presiden," ujar Herman saat ditemui di Sekretariat Komisi IV selepas Rapat Paripurna, Kamis (18/10).
Oleh karena itu, Herman menyebut di dalam UU Pangan terdapat satu Peraturan Presiden yang harus dilahirkan terkait pendirian lembaga tersebut. Wakil Ketua Komisi IV ini menambahkan, secara substansi keberadaan ini mutlak diperlukan. Terlebih hingga saat ini tidak ada lembaga yang secara khusus mengenai pangan.
Dalam Bab XVII Ketentuan Penutup Pasal 150 disebutkan, "Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lambat 3 (tiga) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan."
Menanggapi hal itu, Herman menyebut, jangka waktu tiga tahun dimaksudkan agar Pemerintah dapat melakukan transisi dalam pembentukan lembaga itu. "Bisa bertahap dimulai dari sekarang baru kemudian ditingkatkan fungsi dan peranannya," kata Herman.