REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Menteri Perdagangan Gita Wirjawan mengungkapkan dua strategi pemerintah menghadapi penetrasi produk impor pada pasar domestik yang semakin tinggi seiring meningkatnya konsumsi.
"Strategi tersebut bisa dibagi menjadi dua kategori yaitu fiskal dan nonfiskal. Dengan dua langkah tersebut, pemerintah berharap konsumsi domestik dapat dipenuhi oleh produk industri dalam negeri tanpa harus bergantung pada impor," kata Gita saat menghadiri Temu Akbar Alumni Institut Teknologi Surabaya di Jakarta, Sabtu.
Dalam kategori fiskal, strategi pemerintah di antaranya adalah pemberian 'tax holiday' dan 'tax allowance' pada pelaku usaha yang berpotensi menopang proses industrialisasi di Indonesia, membantu pertumbuhan ekonomi di daerah terpencil, serta menyediakan lapangan kerja.
'Tax holiday' adalah kebijakan untuk membebasan sebuah perusahaan untuk membayar pajak dalam kurun waktu tertentu untuk memancing investasi. Di Indonesia, sektor-sektor yang mendapat fasilitas ini adalah logam dasar, kilang minyak, energi terbarukan, permesinan, dan industri yang terkait komunikasi.
"Fasilitas pembebasan pajak sementara ini diberikan kepada perusahaan dengan investasi minimal satu trilyun rupiah," kata Gita.
Jangka waktu tax holiday ini bervariasi, antara paling lama 10 tahun dan paling singkat lima tahun, terhitung sejak tahun pajak dimulainya produksi komersial.
Sementara 'tax allowance' akan diberikan kepada pelaku usaha selain kelima sektor yang sudah mendapat fasilitas pembebasan pajak sementara.
Investor dapat memperoleh pengurangan pajak di industri pada modal jika menanamkan modal minimal Rp100 miliar dan mempekerjakan 100 pekerja. Sementara untuk industri padat karya, modal minimal adalah Rp50 miliar dengan pekerja 300 orang.
Dengan fasilitas fiskal tersebut, Gita berharap industri lokal dapat berkembang pesat sehingga mampu memenuhi permintaan domestik yang secara akumulatif dalam 20 tahun mendatang nilainya mencapai 36 trilyun dolar AS.
"Jika industri dalam negeri tidak mampu bangkit, maka pansa pasar besar senilai 36 triliun dolar AS itu akan direbut oleh produk-produk impor sehingga pada akhirnya, kita tidak menjadi tuan rumah di negara sendiri," kata Gita.
Selain stimulus fiskal, pemerintah menurut Gita, juga mempunyai strategi nonfiskal untuk mebendung membanjirnya produk impor ke Indonesia yang pada 2011 lalu nilainya tumbuh pesat 30,39 persen menjadi 177,30 miliar dolar AS, atau setara dengan 18 persen produk domestik bruto.
Strategi yang dimaksud Gita adalah pengetatan masuknya barang impor dengan kualitas di bawah standar nasional Indonesia (SNI) "Saat ini banyak produk impor di bawah SNI yang beredar di Indonesia, hal ini harus dihentikan," kata dia.
Selain pengetatan pada produk di bawah SNI, Gita mengatakan bahwa produk-produk yang mengandung dumping dan disubsidi oleh pemerintah negara asal akan dilarang beredar di Indonesia karena melanggar aturan kesetaraan dari prinsip pasar bebas.
"Untuk hal ini memang masih sulit dilakukan di Indonesia karena persoalan sumber daya manusia, akibatnya, kita sulit menentukan apakah suatu produk tertentu telah disubsidi atau mengandung unsur dumping," kata dia.
Gita membandingkan, di setiap pelabuhan Eropa terdapat 600 tenaga ahli yang mempu mendeteksi produk-produk yang disubsidi oleh pemerintah negara asal, sementara Indonesia secara keseluruhan hanya mempunyai kurang dari 10 orang.
"Oleh karena itu, Kementerian Perdagangan beberapa waktu yang lalu mengirim 100 orang untuk mendapatkan pelatihan dari World Trade Organization mengenai masalah itu," kata Gita.
Dengan kebijakan nonfiskal itu, Gita memastikan di masa depan, produk-produk yang masuk ke Indonesia akan berkurang dan memberi kesempatan bagi produsen lokal untuk mendapatkan pangsa pasar.