REPUBLIKA.CO.ID, Fiqih Umar adalah pemahaman atau pendapat Umar bin Khattab (42 SH/581 M-23 H/644 M) Sebagai khalifah kedua dari Al-Khulafa Ar-Rasyidun tentang hukum suatu masalah.
Fikih Umar merupakan pemahaman di bidang fikih yang muncul pada masa awal Islam setelah Rasulullah SAW wafat.
Fikih ini terkenal lebih banyak berorientasi pada tujuan syariat. Fikih Umar merupakan cikal bakal dari aliran rakyu (ahlar-ra’yu), yaitu aliran fikih yang terkenal banyak menggunakan akal pikiran dalam menggali alasan rasional dari suatu rumusan hukum.
Fikih Umar merupakan hasil ijtihad Umar bin Khattab di bidang fikih yang digali dari Alquran dan sunah. Umar bin Khattab adalah salah seorang sahabat besar Nabi SAW. Ia masuk Islam lima tahun sebelum hijrah.
Di samping terkenal sebagai seorang pemberani, ia juga cerdas, mempunyai watak yang keras, dan mampu menduga kebenaran secara jitu. Putranya, Abdullah bin Umar (Ibnu Umar), pernah menceritakan bahwa ada tiga pendapat ayahnya di bidang fikih yang persis dengan apa yang dikehendaki Allah SWT.
1. Ia mengusulkan kepada Rasulullah SAW agar makam Ibrahim AS dijadikan mushola. Beberapa waktu kemudian turun firman Allah SWT yang artinya, “... dan jadikanlah sebagian makam Ibrahim tempat shalat...” (QS. Al-Baqarah: 125).
2. Ia mengusulkan agar istri-istri Rasulullah SAW memakai hijab atau tabir karena di antara orang-orang yang melihat mereka ada yang tidak bermoral. Tidak lama kemudian turun Surah Al-Ahzab (33) ayat 53, "Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir...”
3. Dalam masalah sejumlah tawanan Perang Badar (peperangan yang terjadi antara kaum musyrik Quraisy Makkah dan kaum Muslim yang hijrah ke Madinah bersama dengan kaum Anshar pada 17 Ramadan 2 H di Lembah Badar, di sebelah Barat Daya Madinah), ia mengusulkan agar para tawanan itu dibunuh saja.