REPUBLIKA.CO.ID, Muhammad Abu Zahrah (ahli fikih, usul fikih, dan kalam berkebangsaan Mesir) menjelaskan bahwa usul fikih sebagai metode istinbat pada masa sahabat baru ada dalam praktik, belum disusun dalam bentuk buku.
Usul fikih baru disusun dalam bentuk buku pada masa Imam asy-Syafi’i. Meskipun demikian, metode istinbat hukum yang digunakan Umar bin Khattab cukup jelas dan dapat dilacak dari fatwa-fatwa fikihnya.
Ar-Rahili secara umum menguraikan pola penetapan hukum menurut Umar bin al-Khattab. Pertama-tama, Umar bin Khattab merujuk kepada teks AIquran. Kedua, ia merujuk kepada teks sunah Rasulullah SAW.
Ketiga, kepada fatwa sahabat yang lebih senior, seperti Abu Bakar as-Siddiq. Keempat, ia melakukan ijtihad dengan menggali makna atau tujuan syariat yang terkandung dalam Alquran dan sunah Rasulullah SAW.
Dalam melakukan ijtihad, ia terlebih dahulu melakukan musyawarah dengan para sahabat yang alim atau melakukan ijtihad secara pribadi. Dalam menggali hukum, Umar bin Khattab terkenal sangat ketat berpegang pada Alquran dan mendahulukannya dari sumber-sumber hukum lainnya dan pendapat pribadinya.
Hal ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Ibnu Abbas (Abdullah bin Abbas) bahwa seorang laki-laki bernama al-Harru bin Hasin pernah mengkritik Khalifah Umar bin Khattab karena Umar tidak memberikan apa-apa kepada kelompoknya dan tidak pula berlaku adil.
Umar bin Khattab marah besar ketika mendengar kritik itu sampai ia bermaksud membinasakan laki-laki itu. Namun, lelaki itu dengan tenang berkata, "Hai Amirul mu'minin, bukankah Allah SWT berfirman kepada Rasul-Nya dalam Alquran surah Al-A’raf ayat 199, “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh.”
Mendengar bunyi ayat tersebut, Umar bin Khattab mengurungkan maksudnya semula karena ia mengerti bahwa lelaki yang mengkritiknya tersebut berasal dari kalangan awam yang belum mengerti persoalannya.