REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Permasalahan yang kerap membelenggu Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dipandang akibat dari pendidikan yang rendah. Pasalnya, satu dari dua angkatan kerja Indonesia berpendidikan Sekolah Dasar (SD) dan mayoritasnya adalah TKI.
Staf Ahli Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Dita Indah Sari, mengatakan persoalan literasi inilah yang menjadi cikal bakal problematika TKI di negara tujuan kerja. "Rendahnya pendidikan membuat pergaulan dan pengetahuan TKI terbatas tentang kultur dan bahasa negara tujuan," ujarnya, Selasa (23/10).
Namun, pemerintah tidak bisa melarang TKI untuk mencari kerja di luar negeri. Pasalnya hal ini merupakan hak asasi manusia dan tinggal bagaimana pemerintah melindungi TKI.
Dita menyebut upaya yang bisa dilakukan pemerintah adalah melakukan perjanjian bilateral dengan negara tujuan. Misalnya, dengan Malaysia, Pemerintah Indonesia membuat MoU yang diikuti dengan join working group (JWG) pada 31 Mei lalu.
Isi perjanjian tersebut di antaranya gaji minimal 700 ringgit, passpor dipegang sendiri, dan hak mendapat libur satu hari dalam sepekan bagi TKI Penata Laksana Rumah Tangga (PLRT). "Saking ketatnya peraturan ini, sejak dibuka pengiriman TKI ke Malaysia pada 1 Desember lalu, baru 64 orang TKI ke Malaysia," ucapnya.
Selain masalah literasi, komodifikasi juga menjadi faktor yang tidak bisa dilepaskan dari problematika TKI. Banyak pihak, baik pemerintah maupun swasta yang menganggap TKI adalah suatu komoditas.
"Mereka tidak dianggap sebagai ibu atau istri yang sedang mencari nafkah, namun hanya sebagai komoditas," kata Dita. Ditambah lagi, banyak oknum tidak bertanggungjawab yang mengurangi jumlah jam pelatihan TKI yang harusnya 200 jam menjadi 100 atau bahkan 50 jam.
Peran pemerintah daerah sangat dibutuhkan dalam proses pemberangkatan TKI. Pasalnya 50 persen alur perekrutan TKI terjadi di daerah. "Kalau peran Pemda tidak maksimal, bagaimana mau melakukan penindakan dan pengawasan?" ucapnya.