REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA – Penerapan mekanisme whistle blower (pembeber permasalahan) di lembaga pemasyarakatan (lapas) di anggap masih lemah.
Lemahnya sistem whistle blower ini terbukti masih sedikitnya kasus di lapas yang terungkap dengan whistle blower. Sedangkan beberapa kasus penyelewengan di lapas yang terungkap melalui media masih sangat banyak.
Menurut Pakar Kriminilogi UI, Profesor Muhammad Mustofa, lemahnya pengungkapan whitsle blower di lapas ini karena sejak awal tidak pernah ada sistem whistler blower yang diterapkan di lapas.
Sehingga, jelas dia, apabila ada permasalahan yang dibeberkan, tidak pernah ada jaminan masalah tersebut dapat terselesaikan.
"Masalahnya sistem whistle blower itu tidak pernah dikenal di lapas, sehingga laporan penyelewengan apapun di lapas tidak pernah di follow up oleh instansi terkait," ungkap Mustafa usai menjadi narasumber di acara Semiloka Sosialisasi Standar Pelaksanaan Tugas Pemasyarakatan oleh Direktorat Jenderal Lembaga Pemasyarakatan di Surabaya, Selasa (23/10).
Ia mencontohkan beberapa kasus yang pernah terungkap di Lapas oleh media. Seperti perizinan pihak berwenang terkait penggunaan peralatan yang dilarang, telepon genggam, alat elektronik bahkan hingga bisnis peredaran narkoba dari lapas. Ini, terang dia, adalah bukti perlunya diatur bagaimana pengungkapan penyelewengan di lapas melalui whistle blower.
"Bisa dipastikan beberapa temuan penyelewengan di lapas, bukan hanya melibatkan narapidana saja, namun juga sipir yang memiliki kewenangan," ungkap dia.
Untuk itu, Kemenkumham perlu membuat sistem pengungkapan kasus whistle blower ini demi perbaikan lapas di Indonesia. Sistem ini, perlu memberi jaminan keamanan bagi pelapor baik narapidana maupun karyawan sipir penjara.