REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- RUU Kamnas yang diajukan pemerintah masih mengandung banyak pasal yang multitafsir. Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) Hidayat Nur Wahid mempermasalahkan kuasa khusus yang dimiliki unsur penyelenggara Keamanan Nasional yaitu berupa hak menyadap, menangkap, memeriksa dan memaksa.
Hal ini dapat menimbulkan potensi pelanggaran HAM, terutama membelenggu kebebasan pers, berpotensi menimbulkan "abuse of power" karena TNI dan Intelijen dapat melakukan penangkapan dan penyadapan seperti pada Orde Baru.
“FPKS mempertanyakan penjelasan tentang kewenangan kuasa khusus ini tiba-tiba muncul tanpa ada pasal dan ayat di batang tubuh yang menjelaskan tentang ini,” jelasnya.
Menurut mantan ketua MPR ini, Fraksi PKS menginginkan agar RUU Keamanan Nasional yang reformis yang dapat menjamin keamanan nasional dalam semangat prinsip demokrasi, penegakkan hukum dan HAM untuk menjaga eksistensi masyarakat sipil.
Hidayat menegaskan, keamanan nasional tidak dapat digunakan sebagai alasan pembenar untuk memaksakan dan membatasi hak-hak sipil yang sudah diatur dalam konstitusi. Dalam kondisi apapun (termasuk darurat) tidak boleh ada institusi yang super-body dan kebal hukum yang tidak dapat diukur kebijakannya dan tidak dapat dimintai pertanggung-jawabannya.
“Untuk itu harus ada aturan sanksi yang tegas terhadap penyelewengan kekuasaan (abuse of power) oleh para penyelenggara keamanan nasional,” tutupnya