REPUBLIKA.CO.ID, DAMASKUS -- Pemerintah Suriah berikrar akan meningkatkan kondisi hidup warga kendati negeri itu menghadapi kondisi ekonomi berat dan defisit besar anggaran mencapai tingkat yang tak pernah terjadi selama lima tahun tahun belakangan.
Kementerian Keuangan belum lama ini telah mempersiapkan laporan keuangannya bagi anggaran umum negara tahun fiskal 2013, yang telah memperlihatkan defisit sebesar 68 persen selama setahun terakhir. Kabinet Suriah dijadwalkan membahas rancangan anggaran dalam waktu dekat.
Harian Tishrin, Selasa (23/10), memberitakan bahwa pernyataan keuangan pemerintah mengenai anggaran 2013 telah menangani dampak negatif akibat sanksi ekonomi yang dijatuhkan atas Suriah. Sanksi tersebut telah mengakibatkan ketidak-seimbangan susunan ekonomi secara keseluruhan yang melibatkan nilai tukar, inflasi, defisti anggaran dan nilai pertumbuhan ekonomi yang rendah.
Tampaknya sanksi ekonomi telah membuat suram anggaran negara melalui penurunan tajam penghasilan negara saat pemasukan saat ini hilang sampai 22 persen dibandingkan dengan penghasilan 2011, demikian laporan Xinhua.
Sanksi ekonomi yang telah diberlakukan atas negara itu oleh kebanyakan negara di dunia untuk mempercepat ambruknya pemerintah Suriah telah sangat mencekik ekonomi negeri tersebut. Kegiatan usaha merosot, dan inflasi memecah rekor dengan mencapai 37 persen pada September.
Pada pertengahan Oktober, Uni Eropa memberlakukan serangkaian baru sanksi ekonomi terhadap Suriah, yang pemerintahnya telah mengumumkan telah menyalurkan miliaran pound untuk ganti rugi kerusakan yang ditimbulkan oleh krisis pada harga pribadi.
Uni Eropa, dalam pertemuan menteri luar negeri perhimpunan tersebut, belum lama ini telah sepakat untuk memberlakukan pembekuan aset dan larangan bepergian atsa 28 warganegara Suriah dan dua perusahaan. Dengan demikian, jumlah orang Suriah yang dikenakan sanksi jadi 181 dan perusahaan jadi 54 yang dimasukkan ke dalam fatar hitam oleh negara Uni Eropa.