REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Dua bulan setengah sudah sejak Mahkamah Konstitusi mengetok palu atas kasus pembelian saham PT Newmont Nusa Tenggara. MK menolak permohonan pemerintah agar tak melibatkan DPR dalam transaksi tersebut. Selama itu, Kementerian Keuangan belum juga mengajukan 'proposal' divestasi saham 7 persen tersebut ke senayan.
Pengamat pertambangan, Marwan Batubara, mengungkapkan sikap pemerintah ini bisa mengundang pertanyaan masyarakat. Pasalnya, proses divestasi saham harus segera dilakukan demi kepentingan nasional.
"Pemerintah harus buru-buru mengajukan. Kalau tidak, orang kan bisa bertanya "ungkap Marwan. Sebenarnya, tutur Marwan, pengajuan rencana divestasi tersebut dapat dilakukan dua minggu setelah putusan. Namun, ungkapnya, pemerintah membiarkan proses ini berlarut-larut.
Secara umum, ungkap Marwan, publik mendukung pemerintah untuk membeli saham Newmont demi kepentingan nasional. Oleh karena itu, tuturnya, pemerintah sebenarnya tidak perlu khawatir bakal ada penolakan dari DPR.
"Rakyat bakal menilai DPR tidak memihak kepentingan orang banyak,"tegasnya. SPA saham Newmont sudah tiga kali diperpanjang. Awalnya pada 6 Mei 2011 selama enam bulan dan jatuh tempo pada 6 November 2011. Kemudian, pada 6 Agustus 2012 hingga 25 Oktober 2012.
Untuk SPA yang terakhir, Ki Agus belum mengungkapkan kapan tanggal jatuh tempo perjanjian tersebut bakal berakhir. Berdasarkan Kontrak Karya Newmont pada Desember 1986, pemegang saham asing wajib melepas 51% saham kepada pihak Indonesia setelah empat tahun tambang berproduksi.
Berpedoman ketentuan tersebut, NNT menunaikan kewajiban untuk melepas saham selama periode 2006 hingga 2010. Saat ini pemegang saham NNT terdiri atas Nusa Tenggara Partnership BV sebesar 49%, PT Multi Daerah Bersaing 24%, PT Pukuafu Indah 17,8%, PT Indonesia Masbaga Investama 2,2%, dan PIP 7% (tanda bintang).