REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mayoritas elite partai politik (parpol) dinilai masih memberikan ruang akan faktor etnis dalam mengusung kombinasi capres-cawapres pada pemilihan presiden (pilpres) 2014 mendatang. Pemikiran tersebut diutarakan peneliti Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Adjie Alfaraby.
"Partai bilang tidak mengkotak-kotakkan capres-cawapres itu hanya bahasa politik, untuk terlihat mengakomodasi seluruh pihak. Namun secara realita elite partai masih mempertimbangkan kombinasi faktor etnis atau kesukuan," kata Adjie dihubungi ANTARA, di Jakarta, Rabu (31/10).
Komposisi etnis Jawa dan non-Jawa, lanjut dia, masih berlaku pada Pilpres 2014 mendatang. Karena, masih merupakan salah satu kunci kemenangan. Apalagi, capres yang berasal dari etnis Jawa membutuhkan figur penyeimbang dari etnis non-Jawa dan begitu sebaliknya.
"Kombinasi itu akan menjadi representasi dari para kandidat. Dari sisi komposisi pemilih etnis Jawa masih besar, yakni 40 persen," kata dia.
Di sisi lain, dia mengatakan, keterpilihan dari sisi militer-sipil akan mulai ditinggalkan masyarakat. Meskipun sempat ada anggapan bahwa kombinasi capres-cawapres dari militer-sipil harus terjadi agar seimbang.
"Saat era kepemimpinan SBY-JK, figur JK dinilai lebih mampu bertindak cepat dibandingkan sosok SBY yang berlatar belakang militer yang dalam hal ini dikenal berlatar belakang tegas. Sehingga saya kira faktor militer-sipil akan mulai ditinggalkan," ujar dia.