REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tim Pembela Muslim (TPM) menilai penangkapan yang dilakukan Densus 88 terhadap tiga orang terduga teroris menyalahi prosedur hukum. Penangkapan terhadap Sunanto, David dan Herman yang tanpa surat penangkapan dipandang sebagai sebuah tindakan arogan.
Koordinator TPM, Ahmad Mihdan, menyesalkan penangkapan yang terjadi di Jalan Kebon Kacang, Tanah Abang, Jakarta Pusat, pada Sabtu (27/10). Apalagi pada saat penangkapan, Sunanto, sedang membagi daging kurban. "Ini jelas pelecehan terhadap pelaksanaan ibadah umat Islam," ujarnya saat ditemui di Kantor Majelis Ulama Indonesia (MUI), Menteng, Jakarta, Kamis (1/11).
Mihdan menilai, Densus 88 melakukan kesalahan, karena mengira ketiganya mengenal Azhar Bashir. "Penangkapan Densus tidak jelas. Bahkan mereka tidak tahu siapa yang akan ditangkap," katanya. Ditambah lagi, surat pemberitahuan penangkapan baru disampaikan ke pihak keluarga dua hari setelah penangkapan. "Surat penangkapan dikirim melalui pos. Hukum macam apa ini," ucapnya.
Penangkapan yang tidak sesuai prosedur hukum, kata Mihdan, sangat rentan. Bisa jadi, akibat adanya penangkapan terhadap Sunanto yang setiap harinya menjadi pengurus masjid, akan menimbulkan kekhawatiran terhadap pengurus masjid lain. "Dikhawatirkan orang tidak mau jadi pengurus masjid karena takut ditangkap," ujar Mihdan.
Saat ini, satu dari tiga yang ditangkap, yakni David, sudah dilepaskan. David adalah adik dari Sunanto. David dibebaskan, karena terbukti tidak ada hubungan dengan Azhar Basri. Dalam kesempatan tersebut, Mihdan berujar bahwa ketiganya jauh dari tindakan dari teroris. Ia pun meminta Sunanto dan Herman segera dikembalikan ke keluarga.
Tak hanya itu, TPM sebagai kuasa hukum keluarga meminta transparansi penangkapan yang dilakukan Densus 88. Mihdan menyebut, Sunanto dan Herman harus diberikan akses mendapatkan penasihat hukum yang dipilihnya. "Jangan paksa mereka menggunakan jasa penasihat hukum yang bukan pilihannya," ucap Mihdan.