REPUBLIKA.CO.ID, Isu kematian media cetak bukan kali ini saja bergaung. Isu ini pertama mencuat tahun 2007, saat Pimpinan New York Times Co, Arthur Sulzberger Jr, berbicara dalam forum World Economic Forum di Davos, Swiss.
Saat itu, ia mengambil contoh korannya. "Anda tahu bagaimana nasib Times lima tahun mendatang? Saya tak tahu lagi," katanya, angkat bahu.
Paginya, ia menjadi buah pemberitaan, dengan judul beragam. Intinya, semua mengangkat omongannya yang diterjemahkan sebagai "media cetak bakal segera mati". Bahkan, ada yang menambahkan bumbu berlebihan: NYT segera menutup edisi cetaknya dan beralih menjadi situs berita online.
Seminggu kemudian, Sulzberger memperjelas omongannya. Ia menyebut, bisnis media cetak, asal benar penangannya akan panjang umur. Namun, mereka juga harus bersiap dengan segala kemungkinan di tengah gempuran pesaingnya yang agresif, online.
Lima tahun baginya adalah waktu yang cukup untuk sepenuhnya bisa bersanding dengan media online, dengan menata sisi pemberitaan, iklan, dan operasional lainnya.
Namun, omongannya kadung tersebar dan terserak hingga sekarang. Menjadi peringatan bagi siapapun pengelola bisnis media cetak: bahwa tak perlu tersenyum terlalu lebar ketika pendapatan naik, karena tanpa inovasi bisa jadi besok akan terseok, lalu mati.
Soal lima tahun mempersiapkan diri, Sulzberger tidak sedang mengarang. Jika ada media AS yang serius menyiapkan strategi bertahan di era transisi digital, bisa jadi satu-satunya adalah New York Times.
Times Co mempekerjakan 10 orang ahli yang khusus menangani riset dan pengembangan, termasuk bereksperimen di ranah digital. Mengutip angka tahun 2007, 30 persen atau 80 juta dolar AS pendapatan mereka disokong oleh penghasilan divisi digital, hasil godokan tim ini.
Sementara Sulzberger dicemooh sebagai "terlalu cengeng" dan "terlalu gegabah" meramal nasib media cetak. Satu persatu omongannya terbukti. Hanya beberapa pekan setelah pidatonya di Davos, koran tertua di dunia yang terbit di Swedia, Post-och Inrikes Tidningar gulung tikar.
Mereka tak lagi jualan koran dan sepenuhnya bermain di ranah digital. Keputusan ini berat bagi mereka, namun tak ada pilihan lain. Hingga di hari terakhir koran mereka terbit, Post-och Inrikes Tidningar tinggal memiliki 1.000 pelanggan.
Omongannya juga direspons dengan serius oleh media-media besar. Informasi yang bocor menyebut, Los Angeles Times menyiapkan sistem newsroom yang terintegrasi antara cetak dan online setelah para petinggi menyimak pidatonya.
"Sebagai sebuah organisasi berita, kami sebelumnya tak web-savvy," kata seorang sumber. Seluruh karyawannya tanpa terkecuali, wajib mengikuti pelatihan agar melek online.