REPUBLIKA.CO.ID, VIENTIANE -- Australia dan Inggris mendesak Myanmar mengenai nasib etnis minoritas dan menyerukan diakhirinya kerusuhan sektarian mematikan di Negara Bagian Barat Rakhine, kata para pejabat Selasa (6/11).
Perdana Menteri Australia Julia Gillard dan Menteri Luar Negeri Inggris William Hague mengangkat isu tersebut secara terpisah dalam pertemuan dengan Presiden Myanmar Thein Sein di sela-sela pertemuan puncak utama Asia-Eropa di Laos.
"Pada saat begitu banyak kemajuan hak asasi manusia kami juga akan mencari kemajuan perlakuan terhadap etnis minoritas," kata Perdana Menteri Australia Julia Gillard kepada wartawan di Vientiane sesudahnya. Itu adalah pertemuan pertama antara pemimpin Australia dan Myanmar dalam hampir tiga dekade.
Myanmar telah menandatangani serangkaian kesepakatan gencatan senjata dengan kelompok etnis minoritas bersenjata, tetapi upaya telah dibayangi oleh bentrokan mematikan antara warga Buddha dan Rohingya Muslim yang tak bernagara di Negara Bagian Barat Rakhine.
Menteri Luar Negeri Inggris William Hague mengatakan dia menyuarakan "keprihatinan" pada kekerasan di Rakhine dalam pembicaraan dengan Thein Sein.
"Inggris mendesak semua partai politik di Burma untuk melakukan apa yang mereka bisa lakukan untuk mengakhiri kekerasan dan mengatasi masalah kewarganegaraan Rohingya," kata Hague dalam pernyataan setelah pertemuan.
Pada saat yang sama ia mengucapkan selamat kepada Thein Sein mengenai "reformasi vital politik dan ekonominya", dan mengatakan ia berharap mantan jenderal itu akan dapat mengunjungi Inggris pada awal tahun depan.
Terdapat 800.000 Rohingya Myanmar yang dilihat oleh pemerintah dan banyak negara sebagai imigran ilegal dari negara tetangga Bangladesh. Mereka digambarkan oleh PBB sebagai salah satu minoritas dunia yang paling teraniaya.