Rabu 07 Nov 2012 17:10 WIB

Tentang Gharar (1)

Rep: Hannan Putra/ Red: Chairul Akhmad
Ilustrasi
Foto: blogspot.com
Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Gharar adalah keraguan, tipuan, atau tindakan yang bertujuan untuk merugikan pihak lain.

Suatu akad yang mengandung unsur penipuan karena tidak adanya kepastian, baik mengenai ada atau tidaknya obiek akad, besar kecilnya jumlah, maupun kemampuan menyerahkan objek yang disebutkan di dalam akad tersebut.

Menurut Imam an-Nawawi, gharar merupakan unsur akad yang dilarang dalam syariat Islam.

Secara etimologi, gharar merupakan sesuatu yang pada lahimya disenangi tetapi sebenarnya dibenci. Para ahli fikih mengemukakan beberapa definisi gharar yang bervariasi dan saling melengkapi.

Menurut Imam al-Qarafi, gharar adalah suatu akad yang tidak diketahui dengan tegas apakah efek akad terlaksana atau tidak, seperti melakukan jual beli terhadap burung yang masih di udara atau ikan yang masih di dalam air.

Hal ini senada dengan pendapat yang dikemukakan oleh Imam as-Sarakhsi dan Ibnu Taimiyah yang memandang gharar dari segi adanya ketidakpastian akibat yang timbul dari suatu akad.

Sementara Ibnu Qayyim al-Jauziah mengatakan gharar adalah suatu objek akad yang tidak mampu diserahkan, baik objek itu ada ataupun tidak.

Misalnya, menjual hamba sahaya yang melarikan diri atau unta yang sedang lepas. Sedangkan Ibnu Hazm memandang gharar dari segi ketidaktahuan salah satu pihak yang berakad tentang apa yang menjadi objek akad tersebut.

Menurut ulama fikih, bentuk-bentuk gharar yang dilarang adalah sebagai berikut:

1. Tidak adanya kemampuan penjual untuk menyerahkan objek akad pada waktu terjadi akad, baik objek akad itu sudah ada maupun belum ada (bai‘ al-ma'dum).

Misalnya, menjual janin yang masih di dalam perut binatang ternak tanpa menjual induknya, atau menjual janin dari janin binatang yang belum lahir seperti yang biasa dilakukan orang Arab pada zaman jahiliah.

Hal ini didasarkan pada hadis yang melarang seseorang untuk menjual janin binatang yang masih dikandung induknya tanpa menjual induknya dan menjual janin dari janin binatang yang masih dikandung induknya (habal al-habalah), kecuali dengan cara ditimbang sekaligus atau setelah anak binatang itu lahir (HR. Abu Dawud).

sumber : Ensiklopedi Hukum Islam
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ لَا يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطٰنُ كَمَآ اَخْرَجَ اَبَوَيْكُمْ مِّنَ الْجَنَّةِ يَنْزِعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا سَوْاٰتِهِمَا ۗاِنَّهٗ يَرٰىكُمْ هُوَ وَقَبِيْلُهٗ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْۗ اِنَّا جَعَلْنَا الشَّيٰطِيْنَ اَوْلِيَاۤءَ لِلَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُوْنَ
Wahai anak cucu Adam! Janganlah sampai kamu tertipu oleh setan sebagaimana halnya dia (setan) telah mengeluarkan ibu bapakmu dari surga, dengan menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan aurat keduanya. Sesungguhnya dia dan pengikutnya dapat melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman.

(QS. Al-A'raf ayat 27)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement