Kamis 08 Nov 2012 17:55 WIB

Perawat pun Rentan Kriminalisasi

Rep: Ditto Pappilanda/ Red: Dewi Mardiani
Dokter dan Perawat ilustrasi
Dokter dan Perawat ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Berbeda dengan dokter yang profesinya memperoleh kepastian hukum melalui UU Nomor 29/2004 tentang Praktik Kedokteran, tidak begitu dengan profesi keperawatan. Ketiadaan perlindungan hukum atas perawat membuat profesi salah satu tenaga kesehatan ini rentan mengalami kriminalisasi.

Bila kepastian hukum bagi perawat dibiarkan, bukan tidak mungkin jerat hukum yang diterima Misran di Kutai Kertanegara dialami oleh perawat lainnya. Misran merupakan perawat yang menjadi tenaga kesehatan satu-satunya di Kuala Samboja, Kabupaten Kutai Kertanegara. Di wilayah yang tidak memiliki dokter itu, Misran menjadi orang satu-satunya yang merawat 9.000 warga mencari pengobatan.

Namun, Misran justru di penjara karena dinilai melanggar kode etik profesinya dengan memberi obat keras kepada pasien, yang secara UU hanya diperbolehkan oleh dokter. Bila Misran yang mengabdikan dirinya demi kepentingan kesehatan masyarakatnya saja bisa dipenjara, Sekjen Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Harif Fadilah, khawatir perawat lain yang berada di daerah terpencil bisa bernasib sama.

"Kejelasan kewenangan dan batasan tanggung jawab dalam pelayanan kesehatan penting untuk totalitas melayani masyarakat. Oleh sebab itu perlu adanya pengaturan mekanisme pendelegasian wewenang dan sistem rujukan yang diatur dalam Undang-undang untuk meningkatkan cakupan dan kualitas pelayanan kesehatan," ujar Hanif di  Konferensi Health Professional Education Quality (HPEQ) 2012 Profesi Perawat di PPTIK UGM, seperti dikutip dari laman resmi UGM, Kamis (8/11).

Bukan hanya melindungi perawat, UU Keperawatan juga dilihat Hanif sangat dibutuhkan masyarakat untuk mendapat jaminan hukum bila ingin mendapatkan pelayanan keperawatan. PPNI mencatat 40 persen puskesmas di Indonesia tak memiliki dokter. Bila jumlah puskesmas di Indonesia sebanyak 8.931 dan 22.650 puskesmas pembantu, berarti 2.000 puskesmas di antaranya hanya diperbantukan oleh perawat.

Bila penyebaran dokter yang tidak merata ini berlanjut, perawat-perawat seperti Misran akan mengalami kesulitan menjalankan profesinya. Belum dimasukannya RUU Keperawatan dalam daftar Prolegnas oleh DPR, Hanif menilai bahwa terganjalnya pengesahan karena DPR RI lebih memprioritaskan RUU yang lain.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement