REPUBLIKA.CO.ID, Perbedaan pandangan soal sewa rahim muncul lantaran praktik modern di bidang kedokteran ini belum pernah mengemuka pada era awal Islam.
Prof Hindun al-Khuli dalam “Ta'jir al-Arham fi Fiqh al-Islami”, mengatakan para ulama sepakat, tiga bentuk praktik 'ibu pengganti' berikut ini diharamkan.
Pertama, fertilasi tersebut menggunakan sel telur dan sperma orang asing (bukan suami istri). Sel telur dan sperma tersebut diperoleh dari pendonor tersebut dengan kompensasi materi tertentu.
Hasilnya, kemudian diletakkan di rahim perempuan yang telah ditunjukkan untuk kepentingan orang ketiga.
Contoh kasus kedua yang diharamkan ialah sperma diambil dari suami dari pasangan yang sah, sedangkan sel telur dan rahim adalah milik perempuan yang bukan istrinya.
Bayi yang lahir dari rahim yang bersangkutan, akan diserahkan kepada pasangan suami istri yang sah tersebut.
Sedangkan, praktik sewa rahim ketiga yang tidak diperbolehkan dalam agama ialah bila sel telur berasal dari istri yang sah, tetapi sperma yang digunakan untuk pembuahan bukan kepunyaan suaminya, melainkan hasil donor dari laki-laki lain.
Rahim yang digunakan pun bukan rahim sang istri, melainkan perempuan lain. Setelah lahir, bayi lalu diserahkan kepada pemilik sel telur, dalam hal ini ialah sang istri dan suaminya, yang mandul.
Silang pendapat
Prof Hindun memaparkan, ada dua bentuk praktik yang hukumnya tidak disepakati oleh para ulama masa kini.
Kasus yang pertama, yaitu, baik sel telur maupun sperma diambil dari pasangan suami istri yang sah. Setelah proses fertilasi di luar, hasil pembuahan tersebut dimasukkan ke rahim perempuan lain yang tidak memiliki hubungan apa pun.
Kasus yang kedua, yaitu sel telur dan sperma diambil dari pasangan suami istri yang sah, lalu diletakkan ke dalam rahim istri keduanya, misalnya, atau istri sahnya yang lain. Kedua bentuk persewaan rahim ini diperdebatkan oleh para ulama.