REPUBLIKA.CO.ID, Ulama Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hanbali mendefinisikan gasab sebagai penguasaan terhadap harta orang lain secara sewenang-wenang atau secara paksa tanpa hak.
Definisi ini lebih bersifat umum dibandingkan kedua definisi sebelumnya. Menurut mereka, gasab itu tidak hanya mengambil materi harta tetapi juga mengambil manfaat suatu benda.
Dengan demikian, menurut Imam Abu Hanifah dan sahabatnya Imam Abu Yusuf, suatu perbuatan dikatakan gasab jika berupa penguasaan terhadap milik orang lain dengan memindahkan atau mengalihkan dari tangan pemiliknya.
Sedangkan menurut jumhur ulama, termasuk Muhammad bin Hasan asy-Syaibani dan Zufar bin Hudail bin Qais (728- 774), keduanya ulama fikih Mazhab Hanafi, gasab tidak disyaratkan harus memindahkan atau mengalihkan barang yang diambil itu dari penguasaan pemiliknya.
Menurut mereka, dengan penguasaan terhadap benda itu saja sudah dinamakan gasab, apalagi bersifat pemindahan hak milik.
Perbedaan pengertian gasab yang dikemukakan ulama fikih di atas akan terlihat jelas dalam kasus- kasus berikut:
1. Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Abu Yusuf, apabila yang diambil adalah benda-benda yang tidak bergerak, seperti rumah dan tanah, maka tidak mungkin terjadi gasab, karena penguasaan terhadap harta seperti itu tidak mungkin bisa dilakukan dengan memindahkannya.
Oleh sebab itu, gasab hanya akan terjadi dalam harta yang bergerak. Apabila seseorang menguasai rumah orang lain, lalu rumah itu hancur selama dikuasainya disebabkan banjir atau gempa bumi, maka orang ini tidak bisa dituntut ganti rugi, karena orang yang menguasai rumah itu tidak bisa memindahkan rumah tersebut sehingga penguasaan rumah itu berpindah tangan dari pemiliknya.
Akan tetapi, apabila rumah itu rusak atau hancur disebabkan perbuatan orang yang menguasainya tanpa izin, maka ia dikenakan ganti rugi, karena sekalipun perbuatan gasab tidak mungkin terjadi pada benda tidak bergerak, tetapi sikap sewenang-wenang atas benda itu mengakibatkan ganti rugi harus dilakukan.