REPUBLIKA.CO.ID, Dalam hal benda bergerak, para ulama masih silang pendapat soal gasabnya.
Menurut sebagian mereka, gasab bisa terjadi pada benda-benda bergerak dan benda tidak bergerak, karena yang menentukan adalah sifat penguasaan secara paksa dan sewenang-wenang terhadap harta tersebut.
Melalui penguasaan berarti orang yang menggasab telah menjadikan harta itu dalam penguasaannya, baik materi maupun manfaatnya.
Menurut jumhur ulama, apabila seseorang menguasai rumah orang lain dan memanfaatkannya dengan cara menempati atau meletakkan perabot rumah tangganya di rumah itu, maka orang tersebut telah melakukan gasab.
Kerugian material yang dialami pemilik rumah selama mmahnya digasab harus diganti. Pendapat jumhur ulama ini didukung oleh sabda Rasulullah SAW, "Siapa yang mengambil sejengkal tanah orang lain tanpa seizin pemiliknya, maka Allah akan membebaninya dengan tujuh (lapis) bumi." (HR. Bukhari, Muslim, dan Ahmad bin Hanbal).
2. Apabila benda yang digasab itu memberi hasil secara alami (ciptaan Allah SWT) dan hasil itu hilang atau rusak di tangan orang yang menggasabnya tanpa disengaja, maka orang itu tidak bisa dituntut ganti rugi, karena hasil benda itu belum berada di bawah penguasaan pemiliknya.
Misalnya, seseorang menggasab seekor sapi hamil lalu sapi itu beranak di tangan orang yang menggasabnya. Apabila anak sapi itu mati maka ia tidak bisa dituntut ganti rugi, karena anak sapi belum berada di bawah penguasaan pemiliknya.
Oleh sebab itu, menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Abu Yusuf, perbuatan ini tidak dinamakan gasab, karena penguasaan terhadap anak sapi tidak menghilangkan penguasaan pemiliknya.
Akan tetapi, anak sapi itu menjadi amanah di tangan orang yang menggasabnya. Apabila anak sapi itu mati disebabkan perbuatan sewenang- wenang dari orang yang menggasabnya, maka ia dikenakan ganti rugi. Menurut jumhur ulama, perbuatan seperti itu pun termasuk gasab dan apabila hasil itu rusak di tangannya, ia dikenakan ganti rugi.
3. Menurut ulama Mazhab Hanafi, apabila yang digasab itu adalah manfaat benda (misalnya, manfaat kendaraan) maka tidak dikenakan ganti rugi, karena manfaat tidak termasuk harta.
Akan tetapi, sebagian ulama Mazhab Hanafi memberlakukan hukum pengecualian dalam tiga bentuk, yaitu apabila yang digasab itu adalah harta wakaf, harta anak yatim, atau harta yang dipersiapkan pemiliknya untuk mendapatkan rezeki (seperti rumah kontrakan, mobil angkutan umum, dan hewan yang dipersiapkan untuk diambil susunya setiap hari).