Sabtu 10 Nov 2012 11:00 WIB

Diplomasi Jalur Besi Cina (1): Kereta Transbenua

Skema jaringan rel kereta api transbenua, di mana Cina berambisi membiayai sebagian besar proyek terutama di Asia Tenggara.
Foto: THE TRANSPORT POLITIC
Skema jaringan rel kereta api transbenua, di mana Cina berambisi membiayai sebagian besar proyek terutama di Asia Tenggara.

REPUBLIKA.CO.ID, Dalam hukum ekonomi berlaku ketentuan mutlak, transportasi efektif menekan biaya, sedangkan transportasi buruk meningkatkan harga. Aksioma ini dipahami betul oleh Cina. Tapi bagi kekuatan ekonomi terbesar kedua dunia itu, transportasi bukan hanya soal ekonomi melainkan alat dominasi dan pengaruh politik.

Lewat rencana masif jalur kereta api transbenua, Cina, memulai manuver yang disebut pengamat politik dan media  ‘membangkitkan kembali jalur sutra versi besi’, di mana Indonesia ikut menjadi salah satu pion.

Bla Cina ttak berada di separuh jalan menahbiskan diri sebagai pemilik jaringan kereta supercepat terbesar dunia, sulit membayangkan ambisi itu tercapai. Cina begitu percaya diri dan  tidak menunjukkan kekurangan skil mumpuni dalam menggarap proyek megastruktur. Mereka bahkan  menyatakan bersedia membiayai seluruh proyek serta tak memperlihatkan isyarat memperlambat diri.

Meluaskan jangkauan ke Barat, Cina berencana membangun jalur London-Beijing, skema yang terungkap oleh South China Morning Post dua tahun silam. Proposal itu masih dinegosiasikan dua negara dan juga negara-negara yang dilintasi. Bila tewujud tewujud skema itu bakal menjadi proyek infrastruktur terbesar yang pernah ada di mua bumi.

Bergerak dari Cina di titik awal, jaringan kereta yang dirancang untuk kecepatan 320 kilometer per jam itu bakal memanjang ke selatan, melalui Singapura, ke utara dan barat melintas Siberia, dan barat melewati India, Kazakhstan dan Turki dengan tujuan akhir terhubung ke sistem jaringan kereta cepat Trans-Eropa.

Rute sesungguhnya belum ditentukan, namun tujuan umum rencana ini adalah meningkatkan wilayah mobilitas lewat jaringan kereta cepat dan menggabungkan sebagian besar wilayah Asia dengan sistem kereta Eropa yang lebih dulu mapan.

Soal siapa yang mengongkosi, Cina serius dengan ucapannya. Negara lain yang terlibat  tak perlu ikut memodali. Tentu saja ini bukan  proyek amal dan kerjasama gratis.  Cina sedang haus energi tapi kekurangan pasokan. Premis yang ditawarkan: Cina  menanggung seluruh biaya proyek kereta api dan sebagai imbalan ia mendapat sumber daya alam atau energi yang tak dimiliki.

Salah satu konsultan proyek, Wang Mengshu, menyatakan, “Kami sebenarnya akan lebih suka bila negara terlibat membayar dengan sumber daya alam yang mereka miliki ketimbang membantu investasi modal,” ujarnya.

Motif itu kian terasa kuat dalam skema ekspansi jalur besi Cina ke Tenggara, Negeri Tirai Bambu itu telah menyetujui mendanai jaringan kereta api di Myanmar dengan bayaran berupa  hak mengeksploitasi cadangan lithiumnya.

Rencana rute baru tersebut akan menghubungkan 1.920 kilometer antara Kumning, ke Yangon. Konstruksi tersebut tidak menghasilkan trek baru melainkan menggunakan jalur utara-selatan yang sudah ada dan dimutakhirkan ke skala standard rel internasional.

Dua rute tambahan akan menghubungkan antara kota-kota di Cina Barat Daya, Dali dengan kawsan Myitkyina dan Lashio di Myanmar. Perlu diketahui kedua kawasan  tadi adalah pusat perdagangan dan ujung kepala jalur kereta di negara Aung San Suu Kyi.

Begitu rampung, rute itu akan memperkuat ikatan ekonomi Cina dan Myanmar dan mendorong ekonomi kawasan lebih terintegrasi. Cina saat ini berada di tengah proyek perluasan rel kereta api diperkirakan bernilai 1 triliun dolar. Dalam negeri sendiri, Cina berencana memperluas jangkauan dari semula 78 ribu kilometer menjadi 120 ribu kilometer pada 2020.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement