REPUBLIKA.CO.ID, Jalur Kunming-Singapura tak memasukkan rencana jalur melintasi laut hingga ke Indonesia. Tapi meloncat ke Indonesia sangatlah mudah. Bukan tak mungkin pula suatu saat Cina akan mendesakkan proposal jembatan antara Batam-Singapura, atau Malaysia-Sabang.
Meski demikian, tak berarti Cina berhenti sampai Singapura. Pada Maret 2010 lalu, seperti dilaporan International Business Monitor, China Railway Group (CRG) memenangkan tender kontrak senilai 4,8 milyar dolar AS untuk membangun bahkan mengoperasikan jalur kereta api batu bara di Indonesia.
Rincian kontrak tesebut yakni 1,3 milyar dolar untuk konstruksi, pengawasan dan teknologi kereta api sepanjang 307 kilometer dan 3,5 miliar dolar untuk biaya operasi dan pemeliharaan selama 20 tahun ke depan.
Jalur tersebut akan berlokasi di Selatan Sumatera untuk mengantarkan batu bara dari tambang milik Bukit Asam di Bangko Tengah, ke Srengseng, Lampung. Begitu selesai, target pada 2014 nanti, kereta akan memiliki kapasitas angkut sebesar 27 juta ton batu bara per tahun.
Keberadaan jalur tersebut sekaligus memberi akses Cina ke cadangan batu bara melimpah di Indonesia. Saat ini Indonesia adalah pengekspor batu bara termal terbesar di dunia dan pada 2009, Cina menerima 15 persen dari total ekspor Indonesia.
China Railway juga dilaporkan telah membentuk tim bersama salah satu perusahaan mantan menteri di Indonesia untuk membangun lintasan rel kereta api di Kalimantan Tengah, sepanjang 185 kilometer. Lagi-lagi untuk kepentingan tambang batu bara.
Visi Cina sangat jauh ke depan. Begitu Indonesia mengeluarkan rencana pembangunan Jembatan Selat Sunda, Cina mengendus peluang besar dan menangkap cepat.
Berdasar laporan Beijing Review, saat kunjungan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk menemui Hun Jintao, kesepakatan telah diteken antara China Railway Construction Corp dengan Indonesia untuk pengerjaan Terusan Selat Sunda. Pengerjaan Jembatan Selat Sunda termasuk dalam kesepakatan proyek tersebut.
Namun rencana pembangunan jembatan Selat Sunda tak berjalan mulus alias menuai pro dan kontra dari dalam. Salah satu aspek yang disorot yakni langkah Indonesia menggandeng Cina sebagai investor. Satu kritikan keluar dari mantan Gubernur antan Gubernur Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas) Letjen TNI Purn Sayidiman Suryohadiprojo, yang menyebut Indonesia tergesa dan tidak bijaksana.
Apakah diplomasi jalur besi merupakan investasi masuk akal bagi Cina atau sebuah upaya untuk mengambil alih kekuatan ekonomi di bawahnya. Strategi ini, menurut analisa The Transport Politic, sangat jelas terbaca: Cina ingin memantapkan dirinya sebagai pusat perdagangan Asia, titik dari pasar terbesar dunia.
Dengan membangun kekuatan ekonomi di sekitarnya, mulai dari Asia Tengah hingga Eropa Timur, yang belum pernah mencicipi pertumbuhan tinggi, keberadaan jalur transportasi akan mendongkrak perbaikan ekonomi. Ujungnya mereka memberi manfaat balik pula dalam jangka panjang bagi Cina, baik dalam ekonomi maupun menjadi sekutu politik menguntungkan.
Dalam soal visi, Cina secara objektif layak dikagumi. Demi mengamankan kepentingan nasional, Cina tak segan mengambil langkah agresif. Situasi itu akan menyolidkan poisisi Cina sebagai pemain dominan di ekonomi Asia, dengan tujuan utama, masih menurut analisa The Transport Politic, mengeliminasi peningkatan pengaruh AS dan Barat.
Ambisi itu tentu masih terganjal banyak kendala, mulai persoalan standard kaitan antarbalok rel yang berbeda di tiap negara dan syarat izin visa. Namun bila semua teratasi, Cina memiliki target menuntaskan proyek tersebut dalam kurun waktu sepuluh tahun. Sebuah proyek yang beringas, sekaligus menarik.