Kamis 15 Nov 2012 02:24 WIB

Istana Kadriya, Tempat Alkadri Pimpin 'Kuntilanak'

Red: M Irwan Ariefyanto
Istana Kadriah
Foto: kesultanankadriah.blogspot.com
Istana Kadriah

REPUBLIKA.CO.ID,Datanglah ke Pontianak. Susuri Kapuas dengan sampan sampai bersua cabang sungai, titik temu Sungai Kapuas Kecil dan Sungai Landak. Itulah Kampung Dalam Bugis. Di sana ada Keraton Kadriyah, istana seluas 1.500 meter persegi, terbesar di Kalimantan Barat.

Istana dua tingkat ini terbuat dari kayu belian. Kalau pintu gerbang istana ini ala Portugis, bukan berarti sultan tempo dulu kebarat-baratan. Gerbang ini fungsinya mengantisipasi serangan musuh. Meski zaman bergulir, Istana Kadriyah sampai kini tetap membiaskan wibawa dan kejayaan Kerajaan Pontianak. Bila kita mafhum dengan sejarah tersebut, maka perabotan di dalam istana -- singgasana, kursi kerja, pakaian dan payung kebesaran, tongkat pangeran dan raja, tombak, tandu, kaca pantulan seribu, meriam kuno, surat-surat emas, Alquran tulis tangan, alat upacara dan keramik --- akan mengundang haru. Semua benda antik tersebut "menerbangkan" kita ke hari-hari di mana keturunan Alkadri memimpin Pontianak.

Tidak jauh dari istana Kadriyah ada Mesjid Jami Sultan Pontianak. Masjid seluas 40 X 35 meter, tinggi 20 meter, ini atapnya bertingkat, mirip Pura Meru, Bali. Mesjid yang menghadap kiblat ini tidak dapat dipisahkan dari sejarah leluhur Kesultanan Pontianak. Kisah bermula dari empat pemuda di kota Trim, Hadral Maut, Yaman.

Mereka satu perguruan mengaji. Suatu ketika sang guru menganjurkan kepada empat pemuda ini untuk merantau. ''Pergilah ke timur. Di sana banyak daerah subur dan pohon hijau,'' nasihat guru. Al Sayid Abubakar Idrus, Al Habib Husin Alkadri, Al Sayid Umar Husin Al Sagaf, dan Al Sayid Muhammad pun berangkat. Mereka mampir di Terengganu. Ternyata di daerah ini mereka berpisah, ada yang tinggal dan menyebarkan Islam di Terengganu, ada yang merantau ke negeri Siak, dan ada pula yang ke Aceh. Al Habib Husin pergi ke Aceh dan mengajar Rukun Islam dan Syari'ah di sana. Tidak lama kemudian, dia melanjutkan perantauannya ke Sunda Kelapa, lantas ke Semarang.