REPUBLIKA.CO.ID, Pada 1955, para pemimpin Masyumi, NU, PSII dan Perti berpeluang kembali untuk memperjuangkan berlakunya syariat Islam, namun usaha itu mengalami jalan buntu.
Sebab, UUD yang dirumuskan konstituante tidak kunjung selesai.
Oleh karena itu, Presiden mengeluarkan Dekrit Presiden 1959 yang menetapkan pembubaran konstituante dan UUD 1945 diberlakukan kembali.
Dalam konsideran Dekrit itu disebutkan bahwa Piagam Jakarta menjiwai dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan UUD 1945. Konsideran inilah yang memungkinkan diberlakukannya syariat Islam bagi pemeluknya.
Suasana politik Indonesia segera memasuki masa Demokrasi Terpimpin, saat kekuatan Islam dideskreditkan oleh kekuatan ideologi komunis yang sangat dominan. Masyumi dibubarkan, sementara partai Islam lainnya dipaksa menyesuaikan diri dan tokohnya diintimidasi.
Masa Demokrasi Terpimpin berakhir dengan gagalnya Gerakan 30 September PKI. Tumbangnya Orde lama ini memberikan harapan baru kepada umat Islam.
Pada masa ini, partai-partai Islam: NU, PSII, Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) yang didirikan sebagai wadah penampung aspirasi politik warga Masyumi), dan Perti difusi menjadi satu, yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Akhirnya, sejalan dengan pembaruan politik Indonesia, asas ciri (Islam) dicabut dari PPP, dan oleh karena itu tidak ada lagi partai Islam.