REPUBLIKA.CO.ID,CILACAP--Pengelolaan Blok Mahakam adalah salah satu kasus yang dianggap menunjukkan ketidaberpihakan BP Migas terhadap bangsa Blok ini adalah salah satu ladang gas terbesar di Tanah Air dengan rata-rata produksi sekitar 2.200 juta kaki kubik per hari (MMSCFD) dan cadangan gas mencapai 27 triliun kaki kubik.
Cadangan gas yang tersisa di blok ini menurut peengamat peminyakan dari Indonesian Resources Studies, Marwan Batubara, di Cilacap, Selasa (13/11) masihlah besar. Padahal ladang itu telah diekspoitasi sejak tahun 1970 oleh perusahaan Perancis Total E&P dan Inpex Corporation dari Jepang.
Diperkirakan, saat ini, ujar Marwan, masih tersisa 12 tirliun kaki kubik dengan potensi pendapatan sekitar Rp 1.700 triliun.
Sebenarnya, kontrak kerja sama antara pemerintah dan kedua perusahaan asing tersebut, telah diperpanjang satu kali. Kontrak pertama, dilakukan untuk 30 tahun pada tahun 1967, kemudian diperpanjang selama 20 tahun pada tahun 1997.
Dengan demikian, kontrak kerjasama (KKS) Blok Mahakam itu akan berakhir tahun 2017. Namun belum lagi berakhir KKS kedua tersebut, kedua perusahaan tersebut telah meminta agar kontrak kerjasama bisa diperpanjang lagi.
Permintaan ini, tak hanya disampaikan perusahaan, tapi juga oleh pimpinan pemerintahan kedua negara asal perusahaan. Pengajuan itu mengingat besarnya cadangan gas yang masih tersimpan di blok Mahakam tersebut.
Yang menyedihkan, sikap BP Migas dan wakil pemerintahan di kementerian, ternyata lebih cenderung memenuhi keinginan pihak asing tersebut.
''Ini pengkhianatan terhadap amanat pasal 33 UUD 45, karena cenderung memperkokoh penjajahan asing terhadap sumber daya strategis rakyat Indonesia,'' jelasnya.
Untuk itu, IRESS menuntut pemerintah memutuskan KKS blok Mahakam dengan perusahaan asing dan menunjuk Pertamina sebagai operator blok Mahakam. ''Kita juga mendesak pemerintah, mengikis habis pejabat-pejabat pemerintah yang menjadi kaki tangan asing yang sering melakukan kebohongan publik, merendahkan kemampuan SDM da martabat bangsa,'' katanya.