REPUBLIKA.CO.ID, BITUNG -- Sedikitnya, tiga atau dua cara yang dilakukan para nelayan Filipina agar lolos dari sergapan patroli maritim Indonesia saat mencuri ikan tuna di perairan Sulawesi Utara (Sulut). Yaitu, berlayar saat musim ombak besar dan mengganti nama kapal mereka dengan yang 'berbau' Indonesia.
"Itulah cara cerdik mereka untuk mengelabui kita," ungkap Kepala Seksi Pengawasan dan Penanganan Pelanggaran pada Pangkalan Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (P2SDKP) Bitung, Huspeni, di Bitung, Rabu (14/11). Misalnya, dicontohkan dia, kapal nelayan dari Davao City (Filipina) yang dinakhodai Lito Villanueva (48 tahun).
Saat mencuri ikan tuna di perairan Sulut pada Oktober lalu, mereka menggunakan nama Kapal Motor (KM) Mitra Bahari.
Namun, Lito dkk dibebaskan dari hukuman pidana oleh hakim adhoc Pengadilan Perikanan di PN Bitung, karena dianggap beroperasi di zona ekonomi eksklusif (ZEE).
Celah hukum itulah yang juga mereka siasati. Mereka umumnya beroperasi di perairan dalam radius 40 mil arah barat Pulau Sangirtalaud, yang beririsan dengan ZEE sehingga memungkinkan mereka terbebas dari sanksi pidana. Sebab, antara Indonesia dan Filipina belum terikat perjanjian bilateral terkait penanganan illegal fishing.
"Kalau tidak jeli dan memastikan mereka mencuri ikan di teritorial kita, maka alibi ZEE bisa membebaskan mereka dari sanksi hukuman maksimal 6 tahun penjara dan denda Rp 20 miliar seperti diatur dalam UU No 45/2009 tentang perikanan," tutur Huspeni.
Kepala Kantor Imigrasi Bitung, Sugeng Triyono, menambahkan, jika mereka terbebas dari sanksi pidana, maka akan diserahkan ke pihaknya. Selanjutnya mereka dikarantina di Rumah Detensi Imigrasi Manado untuk menunggu proses deportasi.