Kamis 15 Nov 2012 16:59 WIB

Din Syamsudin: Perpres Pengganti BP Migas 'Sami Mawon'

Rep: muhammad fakhruddin/ Red: Taufik Rachman
Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin.
Foto: Republika/Agung Supri
Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin.

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin menilai Peraturan Presiden (Perpres) berisi pembentukan unit pelaksana kegiatan hulu migas di bawah Kementerian ESDM tidak sesuai dengan Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) secara substantif.

Din berharap unit pengganti BP Migas tersebut bersifat sementera."Kalau permanen  sami mawon. Tidak ada bedanya dengan BP Migas," kata Din saat jumpa pers menjelang Milad 1 Abad Muhammadiyah di Gedung Dakwah Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Kamis (15/11).

Menurut Din, unit pengganti BP Migas tersebut harus temporar sampai dibentuk undang-undang  baru tentang migas yang konstitusional dan sesuai dengan Undang-undang 1945. "Kalau seperti ini mungkin dapat kita pahami," kata Din.

Karena itu, tambah Din, MK harus segara memberikan klarifikasi dan penjelasan tentang keputusannya. Din selaku pemohon uji materil UU Migas berpendapat, putusan MK secara substantif justru menekankan dan menegaskan, agar kontrak kerjasama antara  pihak luar negeri atau pihak manapun, tidak dilakukan dengan pemerintah.

Jadi, tidak G to B (government to bussines), atau B-G (bisnis to government), tapi perlu  B-B (bisnis to bisnis). "Maka sesungguhnya bukan kemudian menariknya ke dalam instansi dan organisasi pemerintah, seperti ke Kementerian ESDM," kata Din.

Din menjelaskan, UU Migas sangat merugikan negara karena mensejajarkan pemerintah dengan pihak asing dalam berkontrak kerjasama. "Ini fatal. Kalau terjadi apa-apa pemerintah sebagai pihak yang bisa diajukan melanggar kesepakatan. Padahal, di seluruh dunia tidak  ada pemerintah yang sejajar dengan perusahaan dalam kontrak kerjasama," kata Din.

Namun demikian, Din mengapresiasi langkah cepat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang segera menggelar rapat kabinat dan menyampaikan keputusannya. Din menegaskan, Muhammadiyah dan segenap ormas Islam lain, serta tokoh perorangan, antara lain Kiai Hasyim Muzadi dan Komaruddin  Hidayat, tidak sekedar fokus pada kepentingan soal eksistensi BP Migas atau badan tertentu lainnya, tapi lebih luas daripada itu.

Fokus utamanya adalah bagaimana sumber daya alam Indonesia dalam bidang energi yang secara defakto telah dikuasai perusahaan asing sebesar 79 persen itu, bisa dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.  

 

Sehingga perlu ada regulasi yang mendorong agar pemanfaatan kekayaan alam Indonesia digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan bukan sebaliknya. "Itu keinginan kami dan itu untuk rakyat. Ini yang kita sebut jihad konstitusi," kata Din.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement