REPUBLIKA.CO.ID, HAVANA -- Pemerintah Kolombia dan kelompok oposisi Angkatan Bersenjata Revolusioner Kolombia (FARC) bertemu di Havana, Senin (19/11). Keduanya melakukan dialog perdamaian untuk mengakhiri perang sipil yang telah berlangsung hampir setengah abad.
Pertemuan tersebut menjadi kali pertama setelah upaya negosiasi sepuluh tahun tak membuahkan hasil.
FARC memberontak pemerintah Kolombia selama hampir setengah abad dan menjadi pemberontakan terlama di Amerika Latin. Puluhan ribu nyawa terenggut, jutaan warga mengungsi akibat konflik tersebut. Tiga proses perdamaian pernah diupayakan kedua pihak namun gagal.
Namun pertemuan kali ini dinyatakan baik pemerintah maupun FARC sebagai pertemuan berbeda. Mereka optimistis pertemuan di Havana tersebut menjadi akhir dari konflik yang panjang.
Presiden Kolombia, Juan Manuel Santos mengatakan keinginannya agar dilahirkan sebuah kesepakatan dalam waktu sembilan bulan. Namun rentang waktu tersebut diragukan berhasil. Pasalnya, kedua belah pihak menghadapi banyak masalah pelik dalam lima poin rencana. Sehingga penyelesaian konflik akan dimulai terlebih dahulu dengan pembangunan pedesaan.
Empat poin lain baru diupayakan setelahnya, yakni terkait masa depan politik dan hukum para anggota FARC, ketidakpastian akhir konflik, masalah perdangangan narkoba serta kompensasi korban perang.
Negosiasi Senin(19/11) pun difokuskan pada isu reformasi tanah di Kolombia. Mengingat isu tersebut telah bermasalah sejak pembentukan FARC di tahun 60-an.
Kepala negasiator pemerintah, Humberto de la Calle yakin proses tersebut akan berjalan cepat dan tidak membutuhkan waktu tahunan. Ia pun berharap pihak FARC dapat menjalin kesepakatan dengan pihak pemerintah.
"Kami berharap, sebagaimana juga mayoritas rakyat Kolombia harapkan, FARC menunjukkan sikap bahwa mereka berfikir momen ini untuk kekuatas pendapat dan bukan kekuatan peluru... Ini akan menjadi proses yang cepat dan efektif, sebuah proses dalah hitungan bulan, bukan tahun," ujar de la Calle sebelum pertemuan di Havana berlangsung.