REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Usulan sejumlah pihak yang menginginkan Pertamina mengambil alih posisi Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) dan mengganti permanen Satuan Kerja Sementara Pelaksana Migas (SKS PMigas) dianggap tak tepat. Setidaknya ada empat alasan mengapa BUMN ini dianggap tak pas.
"Pertama, Pertamina kini tidaklah sama dengan Pertamina berdasarkan UU 8 tahun 1971," tegas Guru Besar Hukum Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana, Selasa (18/11). Dijelaskannya Pertamina lama mendapatkan mandat dari negara berdasarkan UU Migas 44 tahun 1960.
Dalam Pasal 3 ayat 1 misalnya, disebutkan bahwa pertambangan minyak dan gas bumi hanya diusahakan oleh negara. Selanjutnya di ayat 2 ditentukan usaha pertambangan minyak dan gas bumi dilaksanakan oleh Perusahaan Negara semata-mata sehingga dibuatlah UU 8 tahun 1971 tentang pendirian Pertamina. "Sementara UU Migas 2011 hanya memberikan mandat kepada BP Migas," ujarnya.
Dengan ini, kata dia, ketentuan ini yang telah dinyatakan batal. Bila PT Pertamina menggantikan SKSP Migas, ia mengatakan, Pertamina mewakili negara yang berarti mempunyai kedudukan sama dengan BP Migas. "Padahal ini tidak diperbolehkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK)," ujarnya.
Ide Pertamina sebagai pengganti BP Migas akan memunculkan kesan di publik bahwa pemohon uji materi UU Migas hanya ingin menghidupkan Pertamina era orde baru. "Padahal PT Pertamina belum tentu bersedia mengambil beban dan kewenangan BP Migas," katanya lagi.