REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) keliru dalam memahami ketentuan penyelidikan dan penyidikan terhadap Wakil Presiden RI, Boediono terkait dengan kasus pemberian dana talangan (bail out) Bank Century.
Korupsi, menurut MK, dalam arti hukum pidana itu berbeda dengan korupsi dalam arti hukum tata negara. ''KPK boleh memeriksa korupsi siapapun, tanpa harus lewat MK,'' kata Ketua MK, Mahfud MD kepada wartawan, Selasa (20/11).
Sebelumnya KPK menyatakan tidak bisa melakukan penyelidikan maupun penyidikan terhadap Boediono lantaran berstatus wakil presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 7B UUD 1945.
KPK bahkan mengutip pakar yang menjelaskan mengenai teori konstitusi bahwa penyelidikan terhadap warga negara istimewa seperti wakil presiden hanya bisa dilakukan oleh DPR. Setelah itu, yang bersangkutan dibawa ke Mahkamah Konstitusi untuk diperiksa, diadili, lalu diputuskan.
Menurut Mahfud, korupsi menurut hukum konstitusi bila terkait impeachment atau pemakzulan, maka produk vonisnya dari MK hanya berupa pendapat. Tanpa ada hukuman pidana dan bersifat final.
Sebagai tindak lanjutnya, yang bersangkutan akan diberikan hukuman politik dari MPR. Sedangkan korupsi dalam hukum pidana, itu produknya bisa hukuman penjara. Sehingga penuntut atau pihak yang dituntut bisa mengajukan banding, kasasi, dan ada masa penahanan sebelumnya.
''Waktunya bisa bertahun-tahun baru selesai. Kalau pemeriksaan korupsi dalam hukum konstitusi itu hanya 90 hari dan tak ada penahanan atau penghukuman melainkan pemberhentian. Itu pun tergantung MPR. Abraham salah kalau berpendapat seperti yang dikatakan di DPR tadi."