REPUBLIKA.CO.ID, PUNCAK, JAWA BARAT -- Masih ingat dengan karakter yang dimainkan Nicholas Saputra dalam film "Janji Joni"? Di film arahan Joko Anwar itu, dikisahkan sekelumit peran sentral Joni sebagai pengantar roll film.
Namun kini, dengan masuknya era digital di dunia perfilman membuat keberadaan profesi "Joni" dalam kehidupan nyata terancam punah.
"Masuknya era digital ke Indonesia lebih cepat dari yang kita perkirakan," ujar Drs Syamsul Lussa MA, Dirjen Ekonomi Kreatif Berbasis Seni Budaya Kemenparekraf, dalam paparannya di acara Workshop Wartawan bertajuk "Seni Rupa Dalam Film Era Digital", Sabtu (24/11).
Produsen film dunia --Hollywood-- kini tidak lagi menggunakan pita selluloid, namun digital. Hal ini membuat pengusaha bioskop melakukan konversi besar-besaran mengganti proyektor (alat pemutar film) seluloid mereka ke digital.
Secara teknis, penggunaan format digital banyak memberi kemudahan dan keuntungan.
Hollywood lebih nyaman menggunakan format ini karena memangkas ongkos penggandaan copy film. Begitu juga rantai distribusi yang menjadi lebih pendek.
Kini Hollywood tidak perlu mengirim roll-roll film mereka untuk disebar ke seluruh dunia. Kini, para eksibitor film (bioskop) hanya perlu mengunduh dengan fasilitas internet untuk mendapat file film. Setelahnya, Hollywood akan memberikan security code yang terintegrasi dengan proyektor untuk dapat memutar film. Dan klik, film pun bisa langsung diputar.
Hal ini memberi proteksi lebih terhadap film dari praktik pembajakan. Tidak hanya itu, proses perawatan film juga tidak lagi sulit dan mahal. Tidak akan ada lagi film yang karatan atau terserang jamur.
Meski banyak memberi kemudahan, hal ini juga jadi ancaman bagi bioskop kelas menengah ke bawah untuk gulung tikar. Keberadaan sekitar 80-an bioskop yang tersebar di Jawa Tengah, Jawa Timur, Sulawesi dan Jambi semakin terancam karena mahalnya biaya investasi proyektor digital.
"Mereka tidak bisa lanjut karena biaya investasi yang harus mereka keluarkan untuk beli alat (proyektor digital) yang digunakan Hollywood terlalu besar, tidak seimbang dengan pemasukan mereka yang hanya 15 juta per bulan," ungkap Ketua Gabungan Pengusaha Bioskop Indonesia, Djonny Syafruddin di kesempatan yang sama.
Djonny menjelaskan, proyektor digital dibuat oleh Amerika dan diproduksi di Belgia. Satu proyektor digital seharga sekitar Rp 800 Juta hingga 1 Milyar.
"Kalau 21 grup sudah hampir 100 persen mengkonversi proyektornya ke digital. Yang jadi masalah memang bioskop menengah ke bawah, dengan harga tiket yang hanya Rp 7500 dan pendapatan sekitar 15 juta per bulan, akan berapa lama dia balik modal?," papar Djonny.
Untuk itu GPBSI, lanjut Djonny, tengah merumuskan sejumlah solusi untuk hal ini.
"Kita sedang godok solusi agar bagaimana bioskop menengah bisa menerapkan teknologi ini. Nanti akan kita rumuskan bersama Grup 21, apa mereka bisa mendapat kredit untuk proyektor digital second (bekas pakai) yang belum lama digunakan 21, karena 21 kan selalu perbaharui proyektornya, jadi yang belum lama digunakan bisa dialihkan ke bioskop menengah," papar Djonny.