REPUBLIKA.CO.ID, Produksi senjata kimia dan pemusnah massal lainnya yang dilakukan Israel memicu kekhawatiran publik dunia dan PBB. Wakil juru bicara PBB dalam konferensi pers Selasa (27/11) menyatakan, Ban Ki-moon, Sekjen PBB meminta Israel, Angola, Mesir, Myanmar, Korea Utara, Somalia, Sudan Selatan dan Suriah segera menandatangani traktat pelarangan produksi, penyebaran dan penyimpanan senjata kimia. Saat ini, 180 negara telah menandatangani nota kesepakatan internasional itu.
Sekjen PBB menegaskan urgensi bergabungnya sejumlah negara termasuk Israel seiring meningkatnya kekhawatiran publik dunia terhadap ancaman senjata pemusnah massal rezim agresor itu. Sebab Israel saat ini merupakan negara yang memproduksi dan menyimpan senjata kimia dan senjata berbahaya lainnya. Selama ini, Tel Aviv menilai kesepakatan seperti itu sebagai penghalang Israel mewujudkan ambisi anti kemanusiaannya terhadap Palestina dan negara lain. Selain itu, publik dunia juga sangat mengkhawatirkan senjata nuklir Israel sebagai ancaman regional dan global.
Proyek nuklir Israel sejak awal pendiriannya bertujuan militer. Pada tahun 1952, rezim Zionis mendirikan Komisi Energi Nuklir. Lima tahun kemudian komisi tersebut mencapai kesepakatan dengan Prancis mengenai pembangunan reaktor riset Dimona, Negev. Reaktor riset berkekuatan 24 megawat air berat itu dioperasikan pada tahun 1964. Di reaktor ini pula Prancis melakukan pengolahan bahan bakar nuklir, sekaligus menyiapkan plutonium untuk memenuhi kepentingan militer Israel.
Sejak itu Israel semakin agresif meningkatkan kemampuan nuklir militernya. Pada tahun 1964, CIA melaporkan bahwa Israel berhasil memproduksi bom atom plutonium. Hingga dekade 1990-an, rezim Zionis meningkatkan jumlah hulu ledak nuklirnya dari 75 hingga 130 buah. Pada tahun 2006, dengan dukungan AS dan negara Barat lainnya, Israel terang-terangan mengumumkan program nuklir militernya. Bulletin of The Atomis Scientist mengumumkan bahwa jumlah hulu ledak nuklir Israel menempati urutan kelima di dunia.
Tampaknya, senjata nuklir merupakan bagian dari doktrin militer Israel. Berbeda dengan Iran yang bersikap transparan terhadap IAEA, Israel justru menolak kedatangan inspektur IAEA untuk meninjau program nuklir yang jelas-jelas bertujuan militer, dan mengancam kawasan dan dunia itu. Tel Aviv juga menolak untuk menandatangani traktat NPT. Namun, ironisnya Israel justru mendesak publik dunia supaya menekan Tehran untuk menghentikan program nuklir sipilnya.
Belum lama ini Haaretz melaporkan Washington menggelontorkan dana senilai seratus juta dolar ke pusat produksi senjata pemusnah massal Israel. Ancaman senjata itu bukan hanya digunakan terhadap warga Palestina dan Lebanon Selatan dalam perang 22 hari dan 33 hari. Israel juga menggunakan senjata itu dalam agresi delapan hari ke Jalur Gaza belum lama ini.
Sejatinya perlu sikap serius dan tegas dari publik dunia dan organisasi internasional terutama PBB menyikapi berlanjutnya produksi, penyimpanan dan penyebaran senjata pemusnah massal Israel. Lebih dari itu, publik dunia dan PBB harus mendesak negara-negara donor Israel terutama AS untuk menghentikan bantuannya terhadap rezim Zionis yang selama ini digunakan untuk memicu kerusakan di dunia.