REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana mengatakan lembaga baru untuk menjalankan peran dan fungsi Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas), idealnya berbentuk Badan Hukum Milik Negara (BHMN).
Sebab, lembaga baru tersebut adalah penentu wilayah kerja dan pihak yang berkontrak mewakili negara. Untuk itu, menurut Hikmahanto, diperlukan Undang-Undang khusus yang mengatur lembaga pengganti, menyusul putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.36/PUU-X/2012, tentang pembubaran BP Migas.
“Dengan status BHMN, negara jadi terlindungi dan tidak akan tergerus jika terjadi sengketa atau dipailitkan di pengadilan,” tegas Hikmahanto, Rabu (28/11).
Hikmahanto menjelaskan institusi baru menjadi badan pengatur (regulatory body) dan berkontrak, dengan posisi yang kuat, karena dijamin UU. Namun menurut Hikmahanto, badan hukum yang akan mensubstitusi BP Migas, nantinya tidak harus tunduk kepada Kementerian BUMN maupun Kementerian ESDM.
“Modelnya, bisa seperti Bank Indonesia (BI) dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang tidak tunduk kepada Kementerian BUMN, walau melakukan kegiatan komersil,” sebut Hikmahanto.
Kalau lembaga pengganti BP Migas menjadi entitas Badan Usaha Milik Negara (BUMN), maka pilihannya tentu dalam bentuk Persero atau Perum. Namun, masih kata Hikmahanto, keduanya sangat lemah, mengingat wilayah kerja Persero untuk mencari keuntungan. Selain itu tidak ada jaminan, kalau nanti sahamnya tidak akan dijual, misalnya ke pihak asing.
“Kalau Persero punya hutang dan tidak mau membayar, maka resikonya akan dipailitkan. Asetnya akan terkonsolidasi dan bisa tergerus. Nah, ini juga titik kelemahan bentuk BUMN," selorohnya.
Sementara jika entitas pengganti BP Migas dalam bentuk Perum, tetap saja tidak ideal. Soalnya, nature bisnisnya, negara harus mensubsidi.
“Sebenarnya, posisi kelembagaan BP Migas dulu sudah ideal, dan negara terlindungi. Posisinya di atas angin, serta tidak akan tergerus ketika kalah dalam bersengketa,” ujar Hikmahanto.
Masalahnya, yang dipertanyakan Hikmahanto dalam rangka penyusunan UU khusus urusan hulu minyak dan gas, apakah pemerintah dan DPR terikat penuh dengan semangat putusan MK yang mengamanatkan kewenangan kepada BUMN.
Hikmahanto berpendapat hal krusial untuk dipikirkan dari aspek pengganti BP Migas, harus merupakan pelindung dari negara, dengan catatan tidak musti BUMN yang tunduk kepada Kementerian BUMN maupun ESDM.