REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) periode 2009 - 2012 I Gusti Putu Artha menilai bahwa keputusan DKPP terkait keikutsertaan 18 parpol ke tahap verifikasi faktual cacat hukum.
"DKPP tidak memiliki wewenang untuk membuat putusan yang berkaitan dengan tahapan Pemilu. Tugas DKPP hanya terbatas pada pengaduan yang berkenaan dengan dugaan pelanggaran etik," kata Putu di Jakarta, Jumat (30/11).
Keputusan untuk mengikutsertakan 18 parpol, yang menurut KPU tidak memenuhi syarat administrasi sebagai calon peserta Pemilu 2014 adalah wewenang Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) pada ranah pengawasan tahapan pemilu.
"Jika dibiarkan, jangan-jangan esok hari DKPP bisa mengambil lagi peran Bawaslu dan bahkan Mahkamah Konstitusi. Bisa juga DKPP membatalkan hasil pemilu," katanya.
Sebelum dicapai keputusan pada sidang DKPP, Bawaslu seharusnya dapat berperan sebagai mediator dalam sengketa pemilu, yang dalam hal ini terjadi antara tujuh komisioner KPU dan 18 parpol.
Namun, justru Bawaslu membawa sengketa tersebut ke DKPP dengan mengadukan tujuh komisioner KPU karena diduga melakukan pelanggaran kode etik selama masa verifikasi administrasi terhadap 34 parpol.
Sebelum menggiring sengketa itu ke sidang DKPP, Bawaslu telah menyampaikan rekomendasi terhadap 12 dari 18 parpol untuk diikutsertakan dalam verifikasi faktual. Bawaslu tidak merekomendasikan semua parpol yang tidak lolos karena alasannya hanya 12 parpol saja yang melaporkan dugaan pelanggaran kode etik.
Pada sidang putusan DKPP, selain memvonis Sekjen KPU beserta sejumlah jajarannya, Ketua Majelis Jimly Asshiddiqie juga memutuskan 18 parpol diikutsertakan dalam verifikasi faktual, dengan alasan setiap parpol memiliki hak konstituional yang sama.
Keputusan tersebut memicu pro dan kontra lantaran ada kekhawatiran keterbatasan waktu yang telah ditetapkan dalam peraturan KPU no.15 Tahun 2012, karena pada 9 Januari 2013 KPU harus sudah mengumumkan nama peserta Pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD.