REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gerakan Nasional Anti Narkoba (Granat) pesimis terhadap pemerintah yang telah resmi mengeluarkan kebijakan pengetatan pemberian remisi, asimiliasi, dan bebas bersyarat bagi narapidana kasus narkoba. Alasannya, berulang kali pemerintah menyatakan perang terhadap narkoba, namun realisasinya malah berbeda.
Ketua Umum Granat Henry Yosodiningrat menjelaskan, sejauh ini pemerintah belum menunjukkan political will terhadap pemberantasan narkoba. Contohnya, presiden menyatakan bahwa tak akan ada pemberian grasi bagi narapidana kasus narkoba di hadapan publik dan forum resmi. Serta bahwa kejahatan narkoba adalah luar biasa yang mengancam keselamatan bangsa.
“Pernyataannya itu pada awalnya sangat menggembirakan publik. Tetapi pada kenyataannya, satu demi satu terpidana kasus narkoba diberikan grasi. Bahkan ada yang sudah diberi grasi tetapi malah mengulangi perbuatannya,” kata Henry saat dihubungi Republika, Selasa (4/12).
Henry khawatir, peraturan soal pengetatan remisi itu hanya sebatas pada aturan. Sementara di lapangan realisasinya tak sama. Henry juga mempertanyakan, mengapa aturan itu dibuat setelah beberapa waktu lalu publik meributkan pemberian grasi oleh presiden kepada sejumlah narapidana kasus narkoba.
“Saya curiga, kalau grasi itu tidak diributkan oleh publik, jangan-jangan tak akan ada aturan resmi pengetatan remisi terhadap narapidana tersebut,” tambah dia.
Menurut Henry, yang terpenting saat ini adalah pemerintah tidak hanya sekedar mengeluarkan aturan undang-undang. Tetapi, harus ada political will dari seluruh lapisan. Mulai dari petugas lapas, aparat penegak hukum, menteri, sekretariat negara, hingga ke presiden.
Pemerintah resmi memperketat pemberian hak remisi, asimilasi dan bebas bersyarat bagi narapidana kasus terorisme, narkotika dan prekursor narkotika, korupsi, kejahatan terhadap keamanan negara, hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan transnasional lainnya. Pengetatan itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 yang ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 12 November 2012 lalu.