REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gebrakan yang dilakukan Presiden Mesir, Mohammad Mursi terkait penyusunan konstitusi baru dinilai terlalu tergesa-gesa.
Namun, dibalik itu ada semacam semangat penyelamatan yang dilakukan Mursi. Hal itu diungkap Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Hubungan Luar Negeri, Muhyiddin Junaidi.
"Mursi dikenal dengan intelektual kepemimpinannya. Jadi, apa yang dia lakukan itu merupakan semangat penyelamatan aset dan ahlak bangsa," katanya, saat berbincang dengan ROL, Selasa (4/12).
Menurut Kiai Muhyiddin, jika proses penyelamatan dilakukan melalui prosedur hukum seperti sekarang,akan mendapat banyak ganjalan. Karena itu, Mursi lebih memilih melakukan gebrakan tidak populer. Harapannya misi penyelamatan itu tetap berjalan dengan cepat.
Memang, kata kiai Muhyiddin, terlihat ada kesalahan yang dilakukan Mursi dalam hal kebijakan terburu-buru, sehingga melahirkan pro dan kontra. "Saya kira, kesalahannya memang diplomasi. Tapi Mursi memandang perlu gerak cepat, apalagi masyarakat Mesir terus menagih kepemimpinan Mursi," ujarnya menganalisis.
Mengapa diplomasi dan negosiasi begitu lemah, menurutnya karena para penasihat Mursi belum memiliki jam terbang tinggi. "Berpolitik itukan harus luwes tidak serampangan," seloroh Kiaki Muhyiddin.
Tentunya, masih kata Kiai Muhyiddin, Mursi perlu juga memperkirakan adanya usaha Barat untuk menekan. "Kalau oposisi meminta Barat melakukan intervensi, jelas akan membuat Mursi tidak tuntas menjalankan tugasnya sebagai Presiden," cetusnya.
Belum lagi, ketika ada provokasi yang dilakukan terhadap masyarakat Mesir menjadi pencitraan negatif. "Ini yang dikhawatirkan," kata dia.
Parlemen Mesir akhirnya menyelesaikan penyusunan konstitusi baru, Jumat (30/11) kemarin. Konstitusi ini merupakan jawaban terhadap krisis politik sejak Mursi menerbitkan dekrit beberapa waktu lalu.