REPUBLIKA.CO.ID, OUAGADOUGOU -- Pemerintah Mali dan dua kelompok yang memberontak akhirnya sepakat menghormati negara persatuan nasional setelah terjadi pembicaraan pertama dalam rangka untuk mengakhiri krisis negara Afrika Barat yang terpecah menjadi dua.
Delegasi dari pemerintah Mali, Ansar Dine Islam dan Gerakan Pembebasan Nasional Tuareg Azaward (MNLA) telah menyetujui penghormatan terhadap persatuan nasional Mali dan integritas wilayah. ''Serta menolak segala bentuk ekstremisme dan terorisme," kata mereka dalam sebuah pernyataan setelah pembicaraan di Burkina Faso, seperti yang dilansir dari Aljazirah, Rabu (5/12).
Pembicaraan yang terjadi hari Selasa (4/12) di Ouagadougou diselenggarakan oleh presiden Burkina Faso Blaise Compaore dan mediator terkemuka Afrika Barat untuk krisis. Di Ouagadougou, Compaore secara terpisah bertemu dengan Ansar Dine dan perwakilan MNLA pada hari Selasa, sehari setelah duduk bersama dengan utusan Bamako.
Juru bicara MNLA Moussa Ag Assarid mengatakan, bahwa pertemuan itu berjalan sangat baik. "Tidak ada komitmen yang dibuat, selain untuk bersama-sama di meja negosiasi yang sama," ucap Assarid.
Sementara itu, juru bicara pemerintah Mali Tiebile Drame mengatakan, pada hari Selasa bahwa pihak berwenang memerlukan MNLA supaya benar-benar resmi meninggalkan tujuan mereka yaitu kemerdekaan dan penentuan nasib sendiri.
Kelompok MNLA menguasai sebagian besar bagian utara negara Mali, yang mereka sebut Azawad dan sebelumnya dinyatakan merdeka dari pemerintah nasional.
Adanya pemberontakan MNLA telah membuat Uni Afrika dan Chad mengeluarkan seruan untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) supaya mengesahkan campur tangan militer untuk merebut kembali bagian utara Mali.