REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK-- Mali pada Rabu (5/11) meminta Dewan Keamanan PBB segera menempatkan pasukan internasional demimenghadapi militan garis keras dan pemberontak yang menguasai wilayah utara negara itu.
Prancis sedang mempersiapkan sebuah resolusi Dewan Keamanan PBB yang mengizinkan aksi militer internasional dan berharap resolusi itu disahkan bulan ini. Namun, PBB masih mempersoalkan pasukan itu. Siapa yang akan membayar biaya operasionalnya?
Sementara pemerintah Mali dan utusan-utusan Afrika serta PBB masih mengupayakan perundingan politik dengan militan garis keras dan pemberontak Tuareg, persiapan bagi intervensi militer terus dilakukan.
Menurut sejumlah pejabat, operasi itu mungkin diluncurkan mulai September tahun depan.
"Delegasi saya ingin menekankan mendesaknya penempatan pasukan internasional ini," kata Traore Rokiatou Guikine, Menteri Integrasi Afrika Mali, pada pertemuan DK PBB mengenai krisis itu.
"Penderitaan warga Mali setiap hari di wilayah yang diduduki sudah sangat diketahui: pencambukan, pemotongan bagian tubuh, eksekusi tanpa pengadilan, pemaksaan anak menjadi prajurit, pemerkosaan, pelemparan batu, penjarahan dan penghancuran situs-situs budaya dan sejarah," katanya.
"Hak-hak asasi manusia paling mendasar terus-menerus dilanggar oleh gerombolan teroris dan penjahat lain yang diorganisasi oleh kelompok-kelompok kriminal, khususnya oleh orang asing," kata menteri Mali itu.
Para utusan dari Uni Afrika (AU) dan Masyarakat Ekonomi Negara Afrika Barat (ECOWAS) juga mendesak DK PBB segera mendukung pasukan intervensi tersebut.
Mali, yang pernah menjadi salah satu negara demokrasi yang stabil di Afrika, mengalami ketidakpastian setelah kudeta militer pada Maret menggulingkan pemerintah Presiden Amadou Toumani Toure.
Masyarakat internasional khawatir negara itu akan menjadi sarang baru teroris dan mereka mendukung upaya Afrika untuk campur tangan secara militer.
Rencana-rencana sedang dirampungkan untuk mengirim pasukan intervensi Afrika berkekuatan sekitar 3.300 prajurit untuk mengusir militan yang menguasai wilayah utara.
Kelompok garis keras, yang kata para ahli bertindak di bawah payung Al Qaida di Maghribi Islam (AQIM), saat ini menguasai kawasan Mali utara, yang luasnya lebih besar daripada Prancis.
Militan garis keras Ansar Dine (Pembela Iman) merupakan salah satu dari sejumlah kelompok terkait Al Qaida yang mengusai Mali utara di tengah kekosongan kekuasaan akibat kudeta militer pada 22 Maret di wilayah selatan.