REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Badan atau institusi baru pengganti Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas), harus memiliki prinsip mewakili negara.
Prinsip itu harus termaktub dalam revisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Migas, pascaputusan Mahkamah Konstitusi (MK).
"Karena Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 33 Ayat 3 menyebutkan, Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkadung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat. Sehingga, badan tersebut merupakan representasi negara tentunya," papar Mantan Hakim MK, Prof. H.A.S Natabaya, di Jakarta, Kamis (6/12).
Natabaya berpendapat migas sebagai bagian yang terkandung dalam bumi Indonesia, harus dikuasai dan dikontrol negara. Sayangnya, negara, lewat badan yang mewakili, melakukan pengelolaan melalui kerjasama atau berkontrak dengan pihak swasta nasional maupun asing, untuk memproduksi.
Mengingat dalam suatu kerjasama bisa terjadi 'dispute' atau sengketa, maka tentu saja negara harus terproteksi. Maka, masih kata Natabaya, disinilah fungsi dan peran badan baru, sebagai pengatur kegiatan usaha hulu migas, mewakili negara namun melindungi negara dari berbagai tuntutan.
"Kalau mau jujur, status kontitusional BP Migas itu sudah benar. Tetapi memang ada yang alpa menyangkut masalah kontrol atau pengawasan, karena badan tersebut tidak memiliki struktur komisaris atau dewan pengawas. Jadi, nantinya harus diawasi dengan ketat, guna menghindari inefisiensi dan penyimpangan," ujar Natabaya.