Ahad 09 Dec 2012 17:08 WIB

Komisi VIII: Peran Ulama Tidak akan Diamputasi

Rep: Ira Sasmita/ Red: A.Syalaby Ichsan
Milad ke-23 LPPOM MUI dan Workshop Halal Internasional
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Milad ke-23 LPPOM MUI dan Workshop Halal Internasional "Indonesia's Role for Strenghtening Global Halal" di Jakarta (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Meskipun Rancangan Undang-Undang  Jaminan Produk Halal (RUU JPH) urung disahkan tahun ini, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memastikan peran ulama tidak akan diamputasi dalam konten aturan tersebut.

Anggota Komisi VIII DPR RI, yang juga menjabat sebagai Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU JPH Jazuli Juwaini mengatakan, meskiput berjalan alot, pembahasan RUU itu mengalami perkembangan cukup dinamis. Diakuinya masih terdapat perbedaan pandangan dan keberatan yang disampaikan perwakilan pemerintah. 

"Ada tiga poin yang masih jadi persoalan, tentang lembaga penyertifikasi, peran ulama, dan sifat sertifikasi," kata Jazuli saat dihubungi Republika, Ahad (9/12).

Meski demikian, ujar Jazuli, Panja RUU JPH telah memiliki komitmen tentang tiga poin tersebut. Terutama dalam menetapkan otoritas dan peran ulama, dalam hal ini Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam menetapkan sertifikasi halal dan haram.

"Karena yang menyangkut halal dan haram itu adalah kewenangan ulama yang sifatnya penuh. Dan kami tidak akan mau mengamputasi peranan ulama," ujarnya.

Sertifikasi halal dan proses audit dari hulu hingga hilir, lanjut Jazuli akan menjadi otoritas penuh MUI. Menyangkut persoalan lembaga sertifikasi, masih terdapat beberapa persepsi.

Kementerian Agama, disebutnya menginginkan lembaga sertifikasi berada di bawah wewenang Kemenag berupa unit kerja. Beberapa anggota Panja menginginkan lembaga bersifat independen dan bertanggungjawab langsung kepada Presiden. Namun dipastikan Jazuli, lembaga sertifikasi itu akan dibentuk menjadi lembaga yang efisien.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يَسْتَفْتُوْنَكَۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلٰلَةِ ۗاِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗٓ اُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَ ۗوَاِنْ كَانُوْٓا اِخْوَةً رِّجَالًا وَّنِسَاۤءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۗ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اَنْ تَضِلُّوْا ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖ
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

(QS. An-Nisa' ayat 176)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement