REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Redenominasi pada dasarnya mendatangkan manfaat untuk menjaga stabilitas mata uang.
Namun, waktu penerapannya yang salah justru akan memberi efek psikologis dan ekonomis lebih besar bagi pemerintah dan masyarakat.
"Redenominasi Rupiah sebaiknya dilakukan setelah pemilu, tepatnya 2015," kata Chief Economist the Indonesia Economic Intelligence (IEI), Sunarsip, kepada Republika di Jakarta, Ahad (9/12).
Jika dilakukan menjelang pemilu, ujarnya, maka kemungkinan inflasi tinggi akan berkepanjangan. Belum lagi, efek psikologis dan sosial masyarakat dalam hal penyesuaiannya.
Redenominasi merupakan langkah pemerintah menyederhanakan mata uang Rupiah. Bersama Bank Indonesia (BI), pemerintah akan memecah Rupiah dengan menghilangkan tiga angka nol di belakangnya.
Uang Rp 1000 akan menjadi Rp 1. Uang Rp 100 ribu akan menjadi Rp 100. Meski nominalnya berbeda, tetapi nilainya tetap sama.
Sunarsip menambahkan, redenominasi ini terbilang menguntungkan. Selama ini, Rupiah terdepresiasi besar dibandingkan mata uang lain di dunia.
Pemilihan 2015 juga dinilainya cukup bagus. Sebab, saat itu fundamental politik dan pemerintah, melalui presiden baru, jauh lebih stabil. Sehingga, redenominasi tak dikaitkan dengan kepentingan politik tertentu.