REPUBLIKA.CO.ID, BRUSSEL -- Uni Eropa (EU) hari Senin menyetujui rencana pengiriman sekitar 250 pelatih ke Mali untuk membantu militer negara itu mengalahkan militan yang menguasai wilayah gurun utara.
Para pelatih itu, yang tidak akan menyertai pasukan Mali dalam pertempuran, menjadi bagian dari upaya luas internasional untuk memerangi militan karena kekhawatiran yang meningkat bahwa negara itu akan menjadi tempat persiapan serangan terhadap negara-negara Barat dan sekutu mereka.
Tujuan Misi Pelatihan EU adalah membantu angkatan bersenjata Mali agar bisa berfungsi lebih efektif, namun tetap menghormati aturan hukum dan standar etika internasional, kata para menteri luar negeri EU dalam sebuah pernyataan.
Prajurit-prajurit dari negara anggota EU, yang akan didampingi oleh pasukan pelindung, berencana memberikan pelatihan dasar kepada sekitar empat batalyon angkatan darat Mali, atau 2.600 prajurit, di pusat-pusat pelatihan sekitar 250 kilometer sebelah utara Bamako, ibu kota negara tersebut, kata beberapa pejabat EU.
Mali, yang pernah menjadi salah satu negara demokrasi yang stabil di Afrika, mengalami ketidakpastian setelah kudeta militer pada Maret menggulingkan pemerintah Presiden Amadou Toumani Toure.
Masyarakat internasional khawatir negara itu akan menjadi sarang baru teroris dan mereka mendukung upaya Afrika untuk campur tangan secara militer.
Rencana-rencana sedang dirampungkan untuk mengirim pasukan intervensi Afrika berkekuatan sekitar 3.300 prajurit untuk mengusir militan yang menguasai wilayah utara.
Kelompok garis keras, yang kata para ahli bertindak di bawah payung Alqaidah di Maghribi Islam (AQIM), saat ini menguasai kawasan Mali utara, yang luasnya lebih besar daripada Prancis.
Militan garis keras Ansar Dine (Pembela Iman) merupakan salah satu dari sejumlah kelompok terkait Alqaidah yang mengusai Mali utara di tengah kekosongan kekuasaan akibat kudeta militer pada 22 Maret di wilayah selatan.
Ansar Dine menguasai Timbuktu, sementara Gerakan Keesaan dan Jihad di Afrika Barat (MUJAO) memerintah Gao, kota besar lain di Mali utara. Kelompok-kelompok itu memberlakukan sharia di wilayah mereka dan berniat memperluas penerapan hukum Islam itu di kawasan lain Mali.
Muslim garis keras itu juga menghancurkan makam-makam kuno Sufi di Timbuktu, yang diklasifikasi UNESCO sebagai lokasi warisan dunia. Mereka menganggap tempat-tempat keramat tersebut sebagai musyrik dan menghancurkan tujuh makam dalam waktu dua hari saja.
Mali pada 1 Juli mendesak PBB mengambil tindakan setelah kelompok garis keras menghancurkan tempat-tempat keramat di Timbuktu yang didaftar badan dunia itu sebagai kota yang terancam punah.
Pemberontak suku pada pertengahan Januari meluncurkan lagi perang puluhan tahun bagi kemerdekaan Tuareg di wilayah utara yang mereka klaim sebagai negeri mereka, yang diperkuat oleh gerilyawan bersenjata berat yang baru kembali dari Libya.
Kudeta pasukan yang tidak puas pada Maret dimaksudkan untuk memberi militer lebih banyak wewenang guna menumpas pemberontakan di wilayah utara, namun hal itu malah menjadi bumerang dan pemberontak menguasai tiga kota utama di Mali utara dalam waktu tiga hari saja.