REPUBLIKA.CO.ID, Wartawan senior Republika, "Abah" Alwi Shahab menjelaskan, wilayah sekitar perempatan Blok M semakin ramai ketika dibangun sebuah masjid pertama di utara Kebayoran Baru. Saat itu Buya Hamka bersama Masyumi membangun masjid hingga rampung pengerjaannya pada 1958.
Selang beberapa tahun, kemudian masjid ini diresmikan dengan nama Masjid Agung Al Azhar setelah dibuka oleh rektor Universitas Al Azhar Mesir, Prof. Dr Syeh Mahmud Shaltut. Perpaduan pemukian asri Kebayoran Baru, pusat terminal dan perbelanjaan Blok M, pusat olahraga di Senayan, serta nuansa kehadiran Masjid Al Azhar menjadikan CSW sebagai gerbang untuk memasuki kota yang kini jadi wilayah idaman di Jakarta bernama Kebayoran Baru!
Menurut Abah, sekalipun CSW telah bubar sebagai perusahaan, namun namanya CSW tidak lekang oleh zaman. "Nama CSW tetap melekat karena masyarakat Indonesia saat itu saqngat waspada terhadap kehadiran CSW sebagai sebuah perusahaan lambang kolonialisme Belanda," ujar Abah.
Warisan kolonialisme itu secara sadar atau tidak terekam di masyarakat hingga kini. CSW pun akhirnya berkembang seperti sekarang ini dan jadi salah satu titik pusat keramaian di jalanan Jakarta.
Abah menjelaskan, masih banyak nama tempat di Jakarta yang merupakan warisan Belanda. Bahkan nama tempat itu mengadopsi nama perusahaan swasta Belanda, seperti Stasiun Beos (kini dikenal sebagai stasiun Jakarta Kota). Beos kependekan dari nama perusahaan transportasi kereta api milik Belanda, Bataviasche Ooster Spoorweg Maatschapij (Maskapai Angkutan Kereta Api Batavia Timur).
"Jadi sadar atau tidak, ada beberapa nama tempat yang merupakan warisan dari kisah kolonialisme Belanda," tutup Abah.